TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA: Perbedaan Status Sosial terhadap Kehidupan Tokoh Utama dalam Novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Hamka dan “Cinta Kronis” karya Muhammad Iqbal





BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendekatan sosiologi digunakan untuk menganalisis karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya. Paradigma sosiologi sastra bertolak dari orientasi kepada semesta, namun dapat juga berorientasi kepada pengarang dan pembaca. Sosiologi sastra mencakup tiga wilayah kajian, seperti yang diungkapkan oleh Wellek dan Warren (1956: 84, 1990: 111), sehingga objek kajian sastra dapat meliputi sosial pengarang, sastra sebagai cerminan sosial, dan pengaruh karya sastra tersebut terhadap kehidupan sosial masyarakat.
Sastrawan hidup di tengah masyarakat, karya sastra tercipta di tengah masyarakat, karena itulah karya sastra selalu memiliki hubungan dengan keadaan masyarakat pada masa itu. novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya HAMKA contohnya, novel ini sangat menggambarkan keadaan masyarakat di Padang, Sumatera Utara. Perbedaan status sosial di daerah itu masih diperhitungkan, perbedaan itulah yang menjadi masalah bagi Hamid dan Zainab untuk memersatukan cintanya. Telah dipaparkan di atas bahwa karya sastra menggambarkan keadaan masyarakat pada masa itu, inilah yang menjadi dasar penulis untuk mengkaji dua novel yang berbeda zaman, yaitu novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya HAMKA dengan “Cinta Kronis” karya Muhammad Iqbal.
Dua novel ini mengisahkan percintaan dua insan manusia yang sama-sama memiliki masalah perbedaan status sosial, hanya saja novel karya HAMKA menceritakan kehidupan percintaan pada tahun 1927-an yang pasti berbeda dengan novel Muhammad Iqbal yang menceritakan kehidupan percintaan masyarakat modern pada tahun 2000-an. Perbedaan tahun terciptanya novel inilah yang menjadi dasar penulis untuk mengkaji novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya HAMKA dengan “Cinta Kronis” karya Muhammad Iqbal dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis dirasa cocok karena dua novel ini banyak menggambarkan kehidupan masyarakat pada masanya.
 1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan dalam latar belakang di atas, maka pengkaji membatasi rumusan masalah dalam kajian ini dalam tiga pertanyaan, yaitu :
1)      bagaimanakah status sosial tokoh utama dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya HAMKA?
2)      bagaimanakah status sosial tokoh utama dalam novel “Cinta Kronis karya Muhammad Iqbal?
3)      Apa saja perbedaan status sosial tokoh utama dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya HAMKA dan “Cinta Kronis karya Muhammad Iqbal?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka fokus dan tujuan dari kajian ini adalah:
1)       untuk memaparkan status sosial tokoh utama dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah karya HAMKA.
2)      untuk memaparkan status sosial tokoh utama dalam novel “Cinta Kronis karya Muhammad Iqbal.
3)      untuk memaparkan perbedaan status sosial tokoh utama dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah karya HAMKA dan “Cinta Kronis karya Muhammad Iqbal.
1.4 Manfaat
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat dari kajian ini adalah:
1)        mengetahui status sosial tokoh utama dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah karya HAMKA.
2)        mengetahui status sosial tokoh utama dalam novel “Cinta Kronis karya Muhammad Iqbal.
3)        mengetahui perbedaan status sosial tokoh utama dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya HAMKA dan “Cinta Kronis” karya Muhammad Iqbal.



BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral.
Sosiologi adalah ilmu objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif. Menurut Ratna (2003: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain:
(1) pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangn aspek kemasyarakatannya;
(2) pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya;
(3) pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi;
(4) sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat;
(5) sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Pendekatan sosiologi sastra jelas merupakan hubungan antara satra dan masyarakat,  literature is an exspreesion of society, artinya sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. Maksudnya masyarakat mau tidak mau harus mencerminkan dan mengespresikan hidup (  Wellek and Werren, 1990: 110 ). Hubungan yang nyata antara sastra dan masyarakat oleh Wellek dan Werren dapat diteliti melalui:
1. Sosiologi Pengarang
Menyangkut masalah pengarang sebagai penghasil Karya satra. Mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial pengarang, dan ketertiban pengarang di luar karya sastra.
 2.  Sosiologi Karya Sastra
Menyangkut eksistensi karya itu sendiri, yang memuat isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri, dan yang berkaitan masalah-masalah sosial.
3.  Sosiologi Pembaca
Mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya tersebut, yakni sejauh mana dampak sosial sastra bagi masyarakat pembacanya ( Wellek dan Werren, 1990: 111 ).
Karya sastra dikenal sebagai karya imajinasi yang lahir bukan atas kekososongan jiwa, namun atas realitas yang terjadi di sekeliling pengarang. Hal ini tentu tidak lepas dari unsur yang membangun karya sastra tersebut yang meliputi unur intrinsik (unsur yang membangun karya sastra dari dalam dan unsure ekstrinsik (unsur yang membangun karya sastra dari luar). Salah satu contoh kajian ekstrinsik karya sastra adalah konflik sosial yang tercakup dalam kajian sosiologi sastra.
Sosiologi sastra merupakan kajian ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, mengenai lembaga dan proses sosial. Sosiologi mengkaji struktur sosial dan proses sosial termasuk didalamnya perubahan-perubahan sosial yang mempelajari lembaga sosial. agama, ekonomi, politik dan sebagainya secara bersamaan dan membentuk struktur sosial guna memperoleh gambaran tentang cara­-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme kemasyarakatan dan kebudayaan. Sastra sebagaimana sosiologi berurusan dengan manusia, karena keberadaannya dalam masyarakat untuk dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat itu sendiri. Sastra sebagai lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya karena bahasa merupakan wujud dari ungkapan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan.
Beberapa pengertian dan pendapat di atas menyimpulkan bahwa pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap karya sastra dengan tidak meninggalkan segi-segi masyarakat, termasuk latar belakang kehidupan pengarang dan pembaca karya sastra.




BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Menurut pengkaji, kajian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dan jenis penelitian yang digunakan adalah kepustakaan/ library research yaitu mengumpulkan data atau karya tulis ilmiah yang bertujuan dengan obyek penelitian atau pengumpulan data yang bersifat kepustakaan atau telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah.
B. Sumber Data
1. Sumber Data Primer
Sumber primer yaitu novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya HAMKA da novel Cinta Kronis karya Muhammad Iqbal.
C. Teknik Pengumpulan Data
Kajian ini termasuk kajian kepustakaan. Oleh karena itu teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pengumpulan data literer yaitu bahan-bahan pustaka yang koheren dengan objek pembahasan yang dimaksud. Data yang ada dalam kepustakaan tersebut dikumpulkan dan diolah dengan cara:
1. Organizing yaitu mengorganisir data-data yang diperoleh dengan kerangka yang sudah diperlukan.
2. Penemuan hasil penelitian yaitu melakukan analisis lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data dengan menggunakan kaidah-kaidah, teori dan metode yang telah ditentukan sehingga diperoleh kesimpulan tertentu yang merupakan hasil jawaban dari rumusan masalah.
D. Analisis Data
Analisis data dalam kajian pustaka (library research) ini adalah analisis isi (content analysis) yaitu penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media (novel).
Adapun tahapan analisis isi yang di tempuh penulis adalah dengan langkah-langkah :
1. Menentukan permasalahan.
2. Menyusun kerangka pemikiran.
3. Menyusun perangkat metodologi.




BAB IV

PEMBAHASAN

Dalam pembahasan dipaparkan bukti-bukti yang menunjukkan status sosial tokoh utama dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” dan “Cinta Kronis”. Dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah”  terdapat tokoh utama, yaitu seorang pemuda bernama Hamid. Dalam mengumpulkan bukti-bukti yang menyatakan/menunjukkan status soial tokoh utama dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Kedua novel itu memiliki tema yang identik, yaitu cinta. Namun penulis ingin menkaji perbedaan status sosial tokoh utama dari masing–masing novel.

4. 1 Status sosial tokoh utama dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya HAMKA
4.1.1 Sinopsis
Hamid adalah seorang anak yatim dan miskin, tinggal bersama ibunya. Kemudian diangkat oleh keluarga Haji Jafar yang kaya. Perhatian Haji Jafar, istrinya yaitu Asiah, terhadap Hamid sangat baik. Hamid dianggap sebagai anak mereka sendiri. Mereka sangat menyayanginya sebab Hamid sangat rajin, sopan, berbudi, serta taat beragama. Itulah sebabnya, Hamid juga disekolahkan bersama-sama dengan Zainab, anak kandung Haji Jafar.
Sejak kecil Hamid dan Zainab selalu bermain bersama. Mereka sering pergi sekolah, bermain bersama di sekolah ataupun pulang sekolah. Ketika keduanya beranjak remaja, dalam hati masing-masing mulai tumbuh perasaan lain. Hamid merasakan bahwa rasa kasih sayang yang muncul terhadap Zainab melebihi rasa sayang kepada adik, seperti yang selama ini dia rasakan.
Hamid tidak berani mengutarakan isi hatinya kepada Zainab sebab dia menyadari bahwa di antara mereka terdapat tembok pemisah. Zainab merupakan anak orang terkaya dan terpandang, sedangkan dia hanyalah berasal dari keluarga biasa dan miskin. Jadi, sangat tidak mungkin bagi dirinya untuk memiliki Zainab. Itulah sebabnya, rasa cintanya yang dalam terhadap Zainab hanya dipendamnya saja.
Tembok pemisah itu semakin hari semakin dirasakan Hamid., dalam waktu bersamaan, Hamid mengalami peristiwa pilu. Peristiwa pertama adalah meninggalnya Haji Jafar, ayah angkatnya yang sangat berjasa menolong hidupnya selama ini. Tidak lama kemudian, ibu kandungnya pun meninggal dunia. Puncak kepedihan hatinya ketika mamaknya, Asiah, mengatakan kepadanya bahwa Zainab akan dijodohkan dengan pemuda lain, yang masih famili dekat dengan almarhum suaminya. Bahkan, Mak Asiah meminta Hamid untuk membujuk Zainab agar mau menerima pemuda pilihannya.
Dengan berat hati, Hsmid menuruti kehendak Mamak Asiah. Dengan berat hati, Hamid menuruti kehendak Mamak Asiah. Zainab sangat sedih menerima kenyataan tersebut. Dalam hatinya, ia menolak kehendak mamaknya. Karena tidak sanggup menanggung beban hatinya, Hamid memutuskan untuk pergi meninggalkan kampungnya. Dia meninggalkan Zainab dan dengan diam-diam pergi ke Medan. Sesampainya di Medan, dia menulis surat kepada Zainab. Dalam suratnya, dia mencurahkan isi hatinya kepada Zainab. Menerima surat itu, Zainab sangat terpukul dan sedih. Dari Medan, Hamid melanjutkan perjalanan menuju ke Singapura. Kemudian, dia pergi ke tanah suci Mekkah.
Selama ditinggalkan oleh Hamid, hati Zainab menjadi sangat tersiksa. Dia sering sakit-sakitan, semangat hidupnya terasa berkurang menahan rasa rindunya yang mendalam pada Hamid. Begitu pula dengan Hamid, dia selalu gelisah karena menahan beban rindunya pada Zainab. Untuk membunuh kerinduannya, dia bekerja pada sebuah penginapan milik seorang Syekh. Sambil bekerja, dia terus memperdalam ilmu agamanya dengan tekun.
Setahun sudah Hamid berada di Mekah. Ketika musim haji, banyak tamu menginap di tempat dia bekerja. Di antara para tamu yang hendak menunaikan ibadah haji, dia melihat Saleh, teman sekampungnya. Betapa gembira hati Hamid bertemu dengannya. Selain sebagai teman sepermainannya semasa kecil, istri Saleh,Rosana, adalah teman dekat Zainab. Dari Saleh, dia mendapat banyak berita tentang kampungnya termasuk keadaan Zainab.
Dari penuturan Saleh, Hamid mengetahui bahwa Zainab juga mencintainya. Sejak kepergian Hamid, Zainab sering sakit-sakitan. Dia menderita batin yang begitu mendalam, Karena suatu sebab, dia tidak jadi menikah denganpemuda pilihan mamaknya, sedangkan orang yang paling dicintainya, yaitu Hamid telah pergi entah kemana. Dia selalu menunggu kedatangan Hamid dengan penuh harap.
Mendengar penuturan Saleh tersebut, perasaan Hamid bercampur antara perasaan sedih dan gembira. Sedih sebab Zainab menderita fisik dan batin. Gembira karena Zainab mencintainya juga. Artinya cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Karena tidak jadi menikah dengan pemuda pilihan mamaknya. Hamid berencana kembali ke kampung halaman setelah menunaikan ibadah haji terlebih dahulu.
Saleh langsung mengirim surat kepada Rosna, istrinya. Dalam suratnya, dia mnceritakan pertemuannya dengan Hamid. Rosna memberikan surat dari Saleh itu kepada Zainab. Betapa gembiranya hati Zainab mendengar kabar tersebut. Hamid, orang yang paling dicintainya, yang selama ini tidak diketahui keberadaannya, telah dia temukan. Semangat hidupnya bangkit kembali dan dia merasa tidak tahan lagi untuk bertemu kembali dengan kekasih hatinya itu. Ia pun menulis surat balasan kepada Hamid. Hamid menerimanya dengan suka cita.
Walau dalam keadaan sakit parah, Hamid tetap berwukuf. Namun setelah wukuf di Padang Arafah yang sangat panas, dan kondisinya semakin melemah. Melihat keadaan sahabatnya, Saleh tidak sanggup memberitahukan kabar tentang Zainab yang baru saja ia terima dari Rosna. Namun, Hamid mempunyai firasat buruk. Hamid mendesak, Saleh memberitahukan Zainab telah meninggal dunia. Hati Hamid terpukul mendengar kenyataan tersebut. Hanya dengan keimanan yang kuat, dia masih mampu bertahan hidup. Keteguhan Hamid pada sikap menyempurnakan ibadah haji di Baitullah telah menyebabkan Hamid kehilangan kekasihnya. Zainab meninggal karena sakit-sakitan.
Keesokan harinya, Hamid tetap memaksakan diri untuk berangkat ke Mina. Namun, dalam perjalanannya, dia jatuh lunglai, sehingga Saleh mengupah orang Baduy untuk membantu Hamid. Setelah acara di Mina, mereka kemudian menuju Masjidil Haram. Setelah mengelilingi Ka'bah, Hamid minta diberhentikan di Kiswah. Sambil menjulurkan tangannya memegang kain Kiswah penutup Ka'bah itu, Hamid beberapa kali bermunajat. Suaranya semakin melemah dan akhirnya berhenti untuk selama-lamanya. Hamid telah meninggalkan dunia di hadapan Kabah, menyusul kekasihnya.
4.1.2 Status Sosial Hamid (Tokoh Utama)
Paparan berikut menunjukkan status sosial tokoh uytama dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya HAMKA, penulis menunjukkan melalui kutipan-kutipan dari novel ini, beberapa kutipan itu akan dipaparkan sebagai berikut,
“Ia telah meninggalkan saya dan ibu di dalam keadaan yang sangat melarat”
Kutipan di atas muncul dari sudut pandang Hamid. “Ia” dalam kutipan di atas adalah almarhum ayah Hamid. Kata “melarat” di atas berarti miskin harta. Hal itu diperjelas lagi melalui kutipan berikutnya,
“Rumah tempat kami tinggal hanya sebuah rumah kecil yang telah lama, yang lebih dikenal kalu disebut gobok atau dangau.”
Hamid merasa “melarat” karena ia hanya tinggal di sebuah rumah kecil, bahkan ia menyebutnya sebuah gobok. Kemelaratan juga dirasakan Ibu Hamid, hal itu meyebabkan ia putus harapan untuk melanjutkan hidup. Hal itu tampak pada kutipan berikut ini:
“Kemiskinan kami telah menjadikan Ibu putus harapan memandang kehidupan, dan pergaulan dunia ini, kerana tali tempat bergantung sudah putus dan tanah tempat berpijak sudah runtuh.”
 “Tali tempat bergantung sudah putus” dalam kutipan di atas berarti Ayah Hamid sudah meninggal, ia sebagai tulang punggung keluarga dan kini ia tak bisa memberi nafkah lagi untuk keluarganya, Hamid dan isterinya. Kini Hamid menjadi tulang punggung keluarga untuk memberi nafkah ibunya, ia menjadi harapan satu-satunya bagi Ibu. Hamid juga merasa pesisimis untuk menatap masa depan, bahkan ia menganggap masa depan itu masih gelap, penuh ketidakpastian. Hal itu tampak pada kutipan berikut:
“Hanyalah saya yang tinggal, jerat semata, tempat ia menggantungkan pengharapan untuk zaman yang akan datang, zaman yang masih gelap.”
Keputusasaan itu berimbas pada sikap Hamid, ia lebih sering membantu Ibunya daripada bermain seperti teman-temannya. Hal itu dibuktikan pada kutipan berikut ini,
“Waktu teman-teman bersukaria bersenda gurau, melepaskan hati yang masih merdeka, saya hanya duduk dalam rumah dekat ibu, mengerjakan pekerjaan yang dapat saya tolong”
Setelah ia dewasa, Hamid lebih memilih bekerja untuk membantu Ibunya, keadaan ekonomilah yang membuat Hamid mencari pekerjaan, hal itu dibuktikan melalui kutipan berikut,
“Setelah badan saya agak besar, saya lihat banyak anak sebaya saya berjaja kuih; maka saya mintalah kepadanya supaya dia sudi pula membuat kuih-kuih itu, saya sanggup menjualkannya dari lorong ke lorong, dari satu beranda rumah ke beranda yang lain, mudah-mudahan dapat meringankan agak sedikit tanggungan yang berat itu.”   .
Hamid mengikuti jejak teman-temannya yang berjualan kuih (kue). Ia berjualan dari lorong ke lorong hingga rumah ke rumah untuk meringankan beban Ibunya, Hamid ingin membantu Ibunya untuk mencari nafkah. Sebenarnya Hamid sedih karena ia tidak seperti teman-temannya yang mampu dan bersekolah, saat teman-temannya sekolah, ia berjualan kue. Perasaan Hamid itu dibuktikan melalui kutipan berikut,
Hatinya kelihatan duka memikirkan nasib saya; anak-anak yang lain waktu pagi masuk bangku sekolah, saya sendiri tidak. Untuk penjualan kuih-kuih itu hanya cukup untuk makan sehari-hari, orang lain pun tak ada tempat meminta bantu, sakit senang adalah tanggungan sendiri.”
Kehidupan Hamid memang berat, ia berjualan kue seharian hanya mampu untuk makan sehari-hari, ia tidak sanggup membeli sesuatu di luar keperluan untuk makan. Hamid merasa tidak ada seseorang yang dapat dimintai pertolongan, jika ia senang ia akan tanggung sendiri, jika ia bahagia, ia akan tanggung bahagia itu sendiri. Setiap pagi ia berjualan dari rumah ke rumah yang lain,
“Tiap-tiap pagi saya lalu dihadapan rumah itu menjunjung nyiru berisi goreng pisang, mata saya senantiasa memandang ke jendela-jendelanya yang berlangsir kain sutera kuning, hendak melihat keadaan rumahnya”
Hamid begitu rajin berjualan utnuk membantu mencari nafkah. Ia tidak ragu utnuk menceritakan keadaannya kepada seorang pembeli saat itu,
“’Saya tinggal sahaja di sini mak’, jawab saya. ‘ Itu rumah tempat kami tinggal, di seberang jalan. Ayah saya telah mati dan saya tinggal dengan ibu saya. Beliaulah yang mebuat kuih-kuih ini; pagi-pagi saya berjualan goreng pisang dan kalau petang biasanya menjual rakit udang (jengket udang) atau godok perut ayam”
Ibu Hamid membuat kue dan Hamid yang berjualan, di pagi hari Hamid tetap bekerja menjual rakit udang, ia bgitu bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Meskipun hasil penjualan mereka tidak terlalu cukup untuk kebutuhan sehari-hari, hal itu tampak pada kutipan berikut yang menunjukkan hasil penjualan yang sedikit,
“ ‘Berapakah keuntungan sehari?’ tanyanya pula.”
“ ‘ Tidak tentu, mak. Kadang-kadang utnung baik dapat setali (25 sen), kadang-kadang kalu kurang dari itu, sekadar cukup untuk lami makan setiap hari…’”
Status sosial Hamid juga ditunjukkan pada kutipan berikut, kutipan ini ketika ia berbicara dengan ibunya mengenai perasaan Hamid kepada Zainab,
“ Mustahil ia akan menerima cinta saya, kerana di langit dan saya bumi, bangsanya tinggi dan saya daripada kasih sayang ayahnya. Bila saya tilik diri saya, tidak ada padanya tempat buat lekat hati Zainab. Jika kelak datang waktunya orang tuanya bermenantu, mustahil pula saya akan termasuk golongan yang terpilih untuk menjadi menantu Engku Ja’far, kerana tidak ada yang akan diharapkan dari saya, tetapi tuan..Kemustahilan itulah yang kerap memupuk cinta”
Pada kutipan di atas jelas sekali terdapat kata “langit” dan “bumi”, perumpamaan yang menunjukkan adanya jarak secara vertical, antara atas dan bawah. Hamid merasa di bawah, sedangkan Zainab di atas. Selain kutipan di atas, terdapat bukti kuat yang meunjukkan status sosial Hamid,
“‘ Hapuskanlah perasaan itu dari hatimu, jangan timbul-timbulkan juga. Engkau memikirkan juga, bahwa emas tak setara dengan loyang, sutera tak sebangsa dengan benang.”
Perkataan itu muncul dari Ibunya Hamid sendiri, ia menasehati Hamid mengenai perasaannya terhadap Zainab. “Emas dan sutera” diibaratkan Zainab, “loyang dan benang” diibaratkan Hamid, dua hal yang jauh berbeda. Status sosial Hamid banyak ditunjukkan melalui nasehat Ibunya, seperti pada kutipan berikut,
“…orang sebagai kita ini telah dicap dengan derjat “Bawah” atau “Kebayakkan” sedang mereka diberi nama “cabang atas”; cabang atas ada kalanya kerana pangkat dan ada kalanya kerana harta benda.”
Status sosial sering berdasarkan pangkat dan harta benda, Hamid termasuk pada derjat bawah, karena keluarganya tidak memiliki pangkat dan harta. Penekanan perasaan Hamid mengenai hidupnya tampak pada kutipan berikut, kutipan ini menunjukkan bahwa Hamid merasa sendirian, tidak memiliki siapa-siapa lagi,
“ Saya hidup laksana seorang buangan yang tersisih pada suatu padang belantara yang jauh laksana seorang yang bersalah besar yang dibuang negeri, tiada manusia yang datang menengok, tidak ada family ynag melihat, ditimpa oleh haus dan dahaga…”
Beberapa paparan di atas menujukkan status sosial tokoh utama dari novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Hamid, seorang pemuda yang yang dibesarkan di keluarga yang tidak mampu. Masa kecilnya banyak ia luangkan untuk membantu Ibunya untuk berjualan kue selepas ayahnya meninggal dan nyaris tidak memiliki harta selain rumah kecil yang lebih pantas disebut gobok. Masa kecilnya ia jarang bergaul dengan teman-teman sebayanya karena ketika teman-temannya sekolah, ia membantu Ibunya untuk berjualan kue.
Status sosial Hamid sering ditunjukkan oleh perkataan Ibunya ketika ia dinasehati mengenai perasaannya kepada Zainab. Jelas sekali bahwa status sosial Hamid tergolong di “bawah”, karena status sosial berdasar pangkat dan harta kekayaan.  
4.2 Status sosial tokoh utama dalam novel “Cinta Kronis karya Muhammad Iqbal
4.2.1 Sinopsis
Puput, tokoh utama dalam novel “ Cinta Kronis” karya Muhammad Iqbal, seorang pemuda yang sedang menempuh pendidikan di SMA Sumpah Pemuda. Ia memiliki sahabat-sahabat yang bernama Obet dan Hanup. Ia juga memiliki pacar yang bernama Mita, dan adik sepupunya yang bernama Isma.
Novel ini bercerita tentang kisah cinta anak SMA. Dalam novelini setiap tokoh memiliki cerita tersendiri dalam kisah cintanya. Puput memiliki kisah cinta yang sederhana, memiliki pacar, pacaran, putus, dan memiliki perempuan lagi sebagai target baru. Cerita ini sangat kental dengan suasan SMA, mulai dari setting, gaya bahasa, watak yang sangat kental dengan suasana SMA.
Puput memiliki pacar bernama Mita, Puput besar di keluarga yang mampu, hidupnya pun tidak terlalu banyak masalah ekonomi, bahkan ia mampu menghasilkan uang sendiri melalui pekerjaanya sebagai broadcaster freelancer di salah satu radio di kotanya. Mita, perempuan yang juga tidak jauh berbeda keadaanya dengan Puput, ia memiliki mobil dan popular karena kepandaiannya di sekolahnya.
Mereka menjalani kisah cinta seperti orang banyak, membuat janji, menghabiskan waktu berdua, dan “putus”. Selang satu bulan Puput “putus” dengan Mita, ia menemukan gadis manis bernama Gita. Ia bertemu saat Puput ingin membeli DVD di pasar. Novel ini diakhiri dengan proses “pendekatan” yang dilakukan oleh Puput.
4.2.2 Status Sosial Puput (Tokoh Utama)
Paparan-paparan berikut menunjukkan bukti bukti yang menunjukkan status sosial tokoh utama dalam novel “Cinta Kronis”. Tokoh utama dalam novel ini adalah Puput. Puput adalah seorang pemuda yang sedang menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Atas. Penulis menyertakan bukti-bukti yang menunjukkan status sosial tokoh utama dalam bentuk kutipan-kutipan berikut,
“Jelek-jelek gitu, ternyata Puput banyak yang suka…biz anaknya supel, suka bergaul dan tidak pilih-pilih teman, rada nakal juga sih… dia juga termasuk cowok yang usil dan sering bikin jengkel orang, makanya banyak yang suka…” (hal. vi)
Fisik Puput memang tidak tergolong ganteng, malah dalam novel, Puput digambarkan dengan wajah jelek, namun ia memiliki keunggulan, yaitu kepandaian bergaul itulah membuat tokoh utama, Puput memiliki banyak teman dan dia juga karena suka bergaul. Kehidupan Puput juga dapat ditunjukkan melalui kutipan berikut
“Hobinya naik sepeda listrik ples berbekal air putih.” (hal. vi)
Kehidupan keluarga Puput memang terjamin, ia memiliki sepeda listrik yang tidak murah harganya serta hobi Puput yang suka naik sepeda listrikcukup menunjukkan dari keluarga yang lebih cukup. Kepribadian Puput juga ditunjukkan melalui kutipan berikut ini
“Dilihat dari pengalaman Puput yang berhasil ngegaet Mita yang juara kelas itu, pastinya dia punya dong jurus-jurus jitu buat naklukin cewek. Ya, siapa tahu bisa dipraktekin ke Tevi.” (hal. 9)
Puput dapat mendapatkan hati seorang perempuan yang pandai di kelasnya dan dia memiliki bekal untuk mendapatkan hati seorang perempuan. Hal itu cukup menunjukkan bahwa dalam kehidupan percintaan Puput baik-baik saja, ataudapat disebut lancer-lancar saja. Selain dari kutipan di atas, kutipan berikut ini juga cukup menggambarkan kehidupan percintaan Puput yang dapat dikatakan baik-baik saja.
“Beberapa minggu yang lalu Mita sempat mengajak Puput nonton film drama romantic di bioskop” (hal. 22)
Mita, pacar Puput mengajak Puput untuk nonton film. Hal itu menunjukkan bahwa Puput dan Mita memiliki hubungan dekat yang baik-baik saja, bahkan Mita yang mengajak Puput nonton film di bioskop. Bioskop, tempat yang dapat dikatakan untuk masyarakat mampu dalam hal ekonomi. Dari segi ekonomi, kehidupan Puput juga terjamin, hal itu dapat ditunjukkan melalui kutipan berikut.
“’Trims ya…Eh Put, pinjem hape lu dong!’”
“Sudah kuduga, apa lagi kalau  nggak pinjem hape temen? Puput langsung bersungut. Enak aja!”
(hal. 23)
 Puput memiliki handphone yang berkamera, itu artinya kutipan di atas juga mendukung pernyataan bahwa perekonomian keluarga Puput cukup mampu. Dia juga membelikan es krim untuk sekadar menghibu temannya. Kutipan berikut juga membuktikan hal itu.
“Puput pun menghiburnya dengan mentraktir es krim.” (hal. 25)
Kehidupan Puput yang tercukupi juga dapat ditunjukkan melalui kutipan berikut.
Sekarang kan Puput bekerja sebagai broadcaster freelancer di sana. Itu karena beberapa meinggu lalu iseng-iseng dia ikut lomba penyiar radio yang diadakan radio tersebut. Dan nggak nyangka berhasil menyabet juara ke tiga.” (hal. 30)
Puput bekerjadi salah satu radio terkenal di kotanya. Tidak tanggung-tanggung, ia sebagai broadcaster freelancer, ia akan dipanggil jika ada pekerjaan untuknya, sehingga ia tidak merasa terbebani/terikat dengan pekerjaan, sehingga sekolah dan waktu bermainnya tidak terganggu. Karir Puput juga dapat dikatakan beruntung, hal itu tampak pada kutipan berikut.
“Namun kebahagiaan Puput tidak di situ saja, sebab mas Arif, salah satu kru, meminta Puput datang besok sore untuk ngisi acara ‘Waw Seleb (Wawancara Selebritis)’. Dia juga bakal mewawancarai seorang model yang baru-baru ini menang lomba modeling se-Jawa-Bali.” (hal. 34)
Karir Puput di radio juga bagus, terbukti dia menjadi seseorang yang beruntung untuk mewawancarai bintang tamu seorang model yang baru saja menang Lomba Modeling se Jawa-Bali. Setelah on air saja, Puput langsung mengambil gaji pada hari itu juga, hal itu tampak pada kutipan berikut.
“Usai on air, Puput langsung mengambil tip ke ruangan mbak Wati” (hal. 37)
Seperti dikatan di awal, Puput pandai bergaul sehingga memiliki banyak teman. Ketika ia jatuh dari sepeda dan luka-luka, teman-temannya menjenguk Puput. Hal itu tampak pada kutipan berikut.
“Anak-anak kelas 2. IPA.1 (kelasnya Puput) serempak memutuskan untuk menjenguk Puput sepulang mereka dari sekolah.” (hal. 50)
Kehidupan Puput memang berkecukupan, hal itu terbukti pada kutipan berikut.
“Salah sendiri kemarin dia begadang. Pake nonton DVD horror segala. Udah gitu sambil ngopi” (hal. 72)
Puput bangun kesiangan karena nonton DVD semalam suntuk, DVD, barang elektronik yang tidak semua orang memilikinya, tidak hanya itu sarapan Puput saja sudah siap tanpa dia memasaknya sendiri.
“Di atas meja makan menu sarapan telah siap.” (hal. 73)
Puput dalam kehidupan sehari-hari tidak merasa terbenani masalah ekonomi keluarga, bahkan ia bahagia dan cenderung senang-senang tanpa memikirkan keadaan ekonomi keluarganya, karena keluarganya tergolong mampu. Puput juga termasuk orang yang pandai bergaul sehingga keika ia sakit, banyak teman-temannya yang hadir untuk menjenguknya.
4. 3 Perbedaan status sosial tokoh utama dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya HAMKA dan “Cinta Kronis karya Muhammad Iqbal
Beberapa paparan di atas menunjukkan adanya perbedaan status sosial tokoh utama, Hamid, dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya HAMKA dengan tokoh utama, Puput dalam novel “Cinta Kronis” karya Muhammad Iqbal. Hamid besar di keluarga yang tidak mampu dan tidak memiliki pangkat, berbeda dengan Puput yang besar di keluarga mampu.
Hamid mengalami hidup yang keras, ia lebih sering membantu Ibunya untuk mencari nafkah. Mulai kecil ia sudah tidak ingin bermain dengan teman-teman sebayanya karena kasihan melihat Ibunya yang kesusahan, bahkan ketika pagi hari teman-temannya bersekolah, ia malah berjualan kue, sedangkan Puput hidup dalam kesenangan tanpa beban dan tanpa harus membantu orang tuanya untuk mencari nafkah dan ia bersekolah dengan senang bahkan membolos sekolah untuk sekadar membeli DVD di pasar.
Hamid tidak banyak memiliki teman, hal itu disebabkan ketika teman-temannya bersekolah, Hamid malah membantu Ibunya berjualan kue. Hamid juga merasa hidup sebatang kara, tidak ada tempat meminta bantuan. Lain halnya dengan Puput, ia memiliki banyak teman karena ia seseorang yang supel/pandai bergaul, itu terbukti ketika ia jatuh dari sepeda listrik, teman-temannya datang menjenguk ke rumahnya.



BAB V

PENUTUP

Pendekatan sosiologis digunakan terhadap karya sastra yang aspek sosiologisnya lebih dominan daripada aspek-aspek yang lain. Pendekatan ini mengalisis segi intrinsic dan ekstrinsiknya. Dalamsegi intrinsic yang ditekankan adalah watak dan penokohan. Segi ekstrinsik juga berpengaruh, seperti latar belakang pengarang, peristiwa yang terjadi saat karya sastra itu diciptakan.
 Novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya HAMKA dengan “Cinta Kronis” karya Muhammad Iqbal sebenarnya sama-sama banyak bercerita tentang cinta. Namun yang disoroti penulis adalah perbedaan status sosial tokoh utama dari kedua novel tersebut. Perbedaan tiu dipaparkan dalam kutipan-kutipan dalam BAB IV.
Perbedaan itu dapat terjadi karena perbedaan unsur intrinsic dan ekstrinsik yang membangun cerita dari kedua novel tersebut. Namun yang paling menonjol adalah unsure ekstrinsiknya, yaitu latar belakang pengarang dan latar waktu yang cenderung berbeda jauh. Novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” muncul pada tahun 1930-an atau pada masa pujangga baru yang masih banyak unsure Melayunya, sedangkan novel “Cinta Kronis” karya Muhammad Iqbal muncul pada tahun 2012. Perbedaan latar waktu yang cukup jauh juga menciptakan perbedaaan titik masalah.
Tidak lepas dari perbedaan waktu yang cukup jauh dari diciptakannya kedua novel tersebut, status sosial masih tetap menarik untuk dikaji, karena yang menjadi dasar pembeda status sosial juga berubah sesuai perkembangan waktu. Status sosial juga masih menarik untuk dijadikan sebagai masalah yang diangkat dalam sebuah karya sastra. Namun sekali lagi, penulis mengkaji perbedaan status sosial dari kedua novel tersebut bertujuan untuk mengetahui perbedaan status sosial pada zaman pujangga baru dengan status sosial yang bersifat kekinian.



DAFTAR RUJUKAN

Azar. 2009. Sosiologi Sastra. (Online), (http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/pesona-puisi/sosiologi-sastra/), diakses pada 10 Desember 2012.
HAMKA. Tanpa Tahun. Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Iqbal, Muhammad. 2012. Cinta Kronis. Yogyakarta: ANDI OFFSET

Maman, Mahayana. 2010. Contoh Analisis Novel Sederhana melalui Pendekatan Sosiologis. (Online), (http://goesprih.blogspot.com/2011/02/contoh-analisis-novel-sederhana.html), diakses 2 Desember 2012.


Jika blog ini menjadi salah satu referensi Anda, jangan lupa menyertakan blog ini dalam daftar rujukan Anda untuk menghargai karya orang lain dan pastinya menghindari plagiarisme. Terima kasih.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah mengunjungi blog ini dan memberikan komentar.

CARA GRADING ATAU KATROL NILAI DENGAN SPREADSHEET ATAU EXEL

  Di atas adalah preview dokumen spreadsheet untuk grading atau katrol nilai dengan objektif. singkat saja, pasti yang cari sedang bingung k...