PUISI: "Desember" - karya Wildan 'Jayus' T. Rohman

Desember,
sebuah bulan sebuah sebutan
bulan penuh perubahan

Terima kasih Allah yang Maha Segala
Terima kasih Ibu atas segala kasih sayangmu
Terima kasih sahabat dengan segala hormat


kepada yang Maha Esa
hindarkanlah aku dari hal resah
kepada Ibu
tak kan terganti dengan terima kasih beribu
kepada sahabat
tuntunlah aku menjadi hebat

Desember,
sebuah bulan sebuah sebutan
bulan penuh perubahan

PUISI: "Kau Sampah yang Menyebut Kami Sampah" - Wildan 'Jayus' T. Rohman

Aku tersesat di tempat kotor 
penuh bangkai kotoran 
sampai aku ingin pergi 
apa yang kumakan? 
Jika semua adalah kotoran! 
Apa yang kuminum ? 
Jika air ini keruh dengan sampah! 

Ya,
negeri ini sesak dengan sampah! 
tumpukan bangkai daging ke sana kemari 
susah payah mengais makanan 

jika kau sebut kau bangkai? 
Lalu kau sebut kami sampah? 
Hei,Kau yang sampah! 
Kau lebih tak berguna dari bangkai! 

Negeri ini sudah cukup penuh dengan sampah! 
Kau sampah yg menyebut kami sampah! 
Kemana kami harus membuangmu? 
Atau kami bakar saja? 

Hei
sampah yg menyebut kami sampah! 
Berhentilah menjadi sampah! 
Kau tak bisa di urai maupun di daur! 
Kau sampah yang menyebut kami sampah! 
kau memang sampah!


Jika blog ini menjadi salah satu referensi Anda, jangan lupa menyertakan blog ini dalam daftar rujukan Anda untuk menghargai karya orang lain dan pastinya menghindari plagiarisme. Terima kasih.

PUISI: "Pergi" - karya Wildan 'Jayus' T. Rohman


kau pergi
bukan maumu kau pergi
mau Dia
kau tidur
bukan maumu kau tidur
mau Dia
aku menerima
bukan mauku menerima
mau Dia
apalah raga hingga jiwa atas Dia
mauku menerima kemauan Dia
sampaikan salam untuk Dia
aku menerima
kau pergi selamanya

-Untuk mengenang Ayahku-
Semoga jiwamu tenang di sana, tempat yang aku tak tahu dan akan kita semua tuju. Semoga rindu ini kau tahu, sebenar-benarnya aku, sangat merindumu.

7.10.12
J.A.J


Jika blog ini menjadi salah satu referensi Anda, jangan lupa menyertakan blog ini dalam daftar rujukan Anda untuk menghargai karya orang lain dan pastinya menghindari plagiarisme. Terima kasih.

PUISI: "Arti Hujanku dan Hujanmu" - karya Wildan 'Jayus' T. Rohman

(image from: http://4.bp.blogspot.com)


apa kau masih ingat arti hujan di antara kita
kita begitu mesra di tengah hujan yang dingin
menggigil bersama dan bahagia dalam itu semua
hujan banyak berbicara tentang kerinduan
namun tak bisa menyampaikan
rinduku atau mungkin rindumu jika kau rindu
akan hilang bersama menguapnya air hujan
akan tiba saat hujan terasa biasa
hujan memang tak bisa menyampaikan
namun hujan tidak bisu
dia memiliki caranya sendiri
tinggal aku atau mungkin dirimu yang mau mengaku
bisa menangkap arti semua

5.10.12
J.A.J


Jika blog ini menjadi salah satu referensi Anda, jangan lupa menyertakan blog ini dalam daftar rujukan Anda untuk menghargai karya orang lain dan pastinya menghindari plagiarisme. Terima kasih.

LAKON (Naskah Drama): "Sumur Tanpa Dasar" Karya Arifin C. Noer


Lakon SUMUR TANPA DASAR
Karya Arifin C. Noer


PENGANTAR
LAKON INI DITULIS, DISUTRADARI DAN DIPENTASKAN PERTAMA
KALI OLEH ARIFIN C NOER, DI BAWAH BENDERA TEATER MUSLIM.
PADA TAHUN 1971, LAKON INI KEMBALI DISUTRADARAI DAN
DIPENTASKAN ARIFIN C. NOER, DI TIM JAKARTA, DI BAWAH BENDERA
TEATER KETJIL.
KEBERHASILAN PEMENTASAN LAKON INI, DISUSUL OLEH
SEJUMLAH PEMENTASAN LAKON LAINNYA, BAIK KARYANYA SENDIRI
MAUPUN KARYA-KARYA TERJEMAHAN, MISALNYA KAPAI-KAPAI,
ZORRO, ORKES MADUN, ATAU MACBETH (EUGENE IONESCO) FAUST
(GOETHE) DAN FLIES (SARTRE), MENGUNDANG REAKSI PARA
PENGAMAT TEATER. REAKSI ITU KEMUDIAN MENEMPATKAN SOSOK
ARIFIN C. NOER SEBAGAI SALAH SEORANG PENULIS LAKON
TERKEMUKA NEGERI INI, SEKALIGUS SEBAGAI PENYAIR, SUTRADARA
DAN KEMUDIAN PENULIS SCENARIO FILM TERNAMA.
SEBAGAI LAKON YANG EKSPERIMENTALISTIK “SUMUR TANPA
DASAR” UNIKNYA SAMA SEKALI TIDAK BERCIRI ABSURDITAS MURNI –
HAL YANG MENGGEJALA DALAM KARYA-KARYA SASTRA MODERN
INDONESIA ERA 70’AN – TETAPI JUSTRU MEMPERLIHATKAN UPAYA
PERSENYAWAAN KREATIF ANTARA TRADISI TEATER MODERN BARAT
PASCA REALISME DENGAN TEATER TRADISIONAL KITA; TEATER
RAKYAT, KHUSUSNYA LENONG BETAWI DAN TARLING CIREBON. HASIL
PERSENYAWAAN INI, MELALUI PERALATAN SIMBOLISME,
DIEKSPRESIKAN ARIFIN C. NOER KE DALAM LAKONNYA INI, SEHINGGA
KITA AKAN BEROLEH PERISTIWA YANG BERSUASANA KONTEMPLATIF
TENTANG KONFLIK KEJIWAAN TOKOH UTAMANYA, JUMENA
WARTAWANGSA – KONFLIK MENGENAI PERSOALAN IMAN DAN
EKSISTENSI DIRI
HIDUP JUMENA IBARAT SUMUR TANPA DASAR; GELAP DAN TAK
BERUJUNG, MENGGAPAI-GAPAI
Jakarta, Agustus 1989
Lakon Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer 4
DRAMATIC PERSONAE
JUMENA WARTAWANGSA Lelaki Tua
EUIS Istrinya
PEREMPUAN TUA Pembantunya
MARJUKI KARTADILAGA Adik angkatnya
SABARUDDIN NATAPRAWIRA Guru Agama
WARYA Pegawainya
EMOD Pegawainya
KAMIL Si Sinting
LELAKI Pelukis Sinting
MARKABA Tokoh Jahat
LODOD Tokoh Idiot
PEMBURU Alias SANGKAKALA
KABUT-KABUT, ORANG-ORANG
Dan LAIN-LAIN
WAKTU Kapan Saja
TEMPAT Di rumah, dalam pikiran Jumena
Martawangsa atau di mana saja
BAGIAN PERTAMA
1.      SANDIWARA INI KITA MULAI DENGAN SUARA DETAK-DETIK LONCENG
YANG MENGGEMA MEMENUHI RUANG. SUARA DETAK-DETIK INI
BERJATUHAN SEDEMIKIAN RUPA SEHINGGA MENIMBULKAN
BERMACAM-MACAM ASOSIASI. SESEKALI DI SELA-SELA SUARA INI
MENYAYUP PANJANG LOLONG ANJING ATAU SRIGALA YANG SEDANG
‘MERAIH’ BULAN.
2.      LONCENG ITU ANTIC, TUA, AGUNG DAN KUKUH PENUH RAHASIA. DARI
RONGGA LONCENG MUNCUL KABUT-KABUT ATAU PARA PEMAIN YANG
MELUKISKAN KABUT-KABUT. MEREKA MELANGKAH MENGENDAPENDAP
UNTUK SELANJUTNYA SECARA PENUH RAHASIA MENYEBAR KE
SEGENAP ARAH DAN SEGERA GAIB SIRNA.
3.      PIGURA ITU TANPA GAMBAR TANPA POTO, KOSONG, TERGANTUNG
SUNYI DAN PENUH RAHASIA
4.      DI ATAS KURSI GOYANG JUMENA MARTAWANGSA BERGOYANGGOYANG
SUNYI. TAMPAK SESAK PERNAFASANNYA. SEKALI PUN
BEGITU, KEDUA MATANYA MASIH MENYOROTKAN PANDANGAN YANG
TAJAM. AMAT TAJAM. DAN DALAM KEADAAN SEPER JUMENA
KELIHATAN SEPERTI SEDANG MENGHITUNG DETAK-DETIK LONCENG.
SEJAK TADI, SEONGGOK KABUT BERDIRI DI SAMPINGNYA
MEMEAINKAN SEHELAI TALI YANG SIAP UNTUK MENGGANTUNG
LEHER. AGAK BEBERAPA SAAT JUMENA MENIMBANG-NIMBANG TALI
ITU. KEMUDIAN KABUT ITU MENDEKATKAN TALI GANTUNGAN ITU
DAN JUMENA MENCOBA MEMASANG PADA LEHERNYA. DIA TERTAWA.
JUMENA
Kalau saya bunuh diri, sandiwara ini tidak akan pernah ada
Sambil tertawa ia memberikan isyarat agar kabut pembawa tali pergi. Dan pada saat
itu detak-detik lonceng semakin lantang. Dari rongga lonceng muncul Sang Kala alias
Pemburu yang siap dengan senapannya. Ketika senapan itu meletus, terkumpullah
seluruh amarah dan kekagetan Jumena
JUMENA
Bangsat!
TATKALA SANG KALA GAIB BERDENTANGANLAH LONCENG ITU.
KEMUDIAN BERDENTANG JUGALAH BERJUTA LONCENG-LONCENG
DAN WEKER. SEDEMIKIAN RUPA SUARA ITU MENEROR SEHINGGA
Lakon Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer 6
MENYEBABKAN JUMENA BANGKIT. DAN PADA SAAT JUMENA BERDIRI,
HENING MENGGANTIKAN SUASANA. LALU JUMENA DUDUK KEMBALI.
PEREMPUAN TUA MUNCUL MENGGANTI TEMPOLONG LUDAH DI KAKI
KURSI GOYANG DENGAN TEMPOLONG YANG LAIN.
P. TUA (Sambil pergi)
Terlalu bernafsu. Pucat sekali wajahnya

ENTAH DARI SEBELAH MANA EUIS MUNCUL
JUMENA
Kalau saya bisa percaya, saya tenang. Kalau saya bisa tidak percaya, saya tenang.
Kalau saya percaya dan bisa tidak percaya, saya tenang. Tapi saya tidak percaya dan
tidak bisa tidak percaya, jadi saya tidak tenang. Tapi juga kalau saya tenang, tak akan
pernah ada sandiwara ini
EUIS: Akang
JUMENA: Euis
EUIS: Apa yang akang lihat?
JUMENA: Kau
EUIS: Kenapa?
JUMENA: Ingin tahu apa kau betul-betul cantik
EUIS MERANGKUL DAN MENCIUMI JUMENA, TELINGA JUMENA DAN
LAIN-LAIN SEHINGGA MEMBUAT JUMENA KEGELIAN. KEDUANYA
TERTAWA-TAWA. SEKONYONG-KONYONG JUMENA MEMATUNG,
MURUNG
EUIS: Kenapa, Akang?
(Jumena Memainkan Bulu Matanya Sendiri)
Kenapa tiba-tiba muram, Akang?
JUMENA (Manja-tua): Umur Euis berapa?
EUIS: Dua enam
JUMENA: Itulah sebabnya!
EUIS: Percayalah akang. Euis akan tetap mencintai akang sekalipun umur akang delapan
puluh tiga tahun
JUMENA: Betul?
EUIS
sumpah
JUMENA
Kalau delapan lima?
EUIS
Cinta
JUMENA
Seratus tahun?
EUIS
Euis akan tetap menciumi leher akang
KEMBALI EUIS MERANGKUL DAN MENCIUMI LEHER JUMENA DAN
LAIN-LAIN. KEDUA-DUANYA TERTAWA
JUMENA
Kalau saja saya tahu kau betul-betul mencintai saya
EUIS
Euis sangat cinta pada akang
JUMENA
Menyenangkan sekali kalau itu benar
EUIS
Betul Euis mencintai akang
JUMENA
Mungkin, saying akang tidak tahu persis
EUIS
Tidak perlu
Lakon Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer 8
JUMENA
Perlu. Bahkan akang juga ingin tahu apa betul akang bahagia
(Terus mereka berciuman dan tertawa-tawa)
Sesekali enak juga berhibur seperti ini
TERUS MEREKA BERCIUMAN DAN TERTAWA
6
ENTAH DARI MANA MARJUKI KARTADILAGA MUNCUL. IA TERSENYUM
SAMBIL MENYEDOT PIPA ROKOKNYA
JUMENA (Kesal-sedih)
Kenapa kau rusak sendiri? Kenapa kau berubah? Lenyapkan itu
(Begitu melihat Marjuki, perhatian Euis beralih dan langsung merangkulnya)
Bangsat. Kau rusak sendiri. Semuanya kau rusak sendiri
(Dalam sunyi Jumena menimbang-nimbang sendiri apa yang baru diucapkannya)
Siapa bilang aneh? Semua ini mungkin saja terjadi. Tuhan, kenapa justru saya
merasakan sesuatu semacam kenikmatan dengan segala pikiran-pikiran ini? Kau jebak
saya, Tuhan. Kau jebak saya. Tega. Kau! (lalu mulai dengan pikirannya) saya kira
mula-mula istri saya…. (Agak lama) Ya, mula-mula istri saya akan berlaku seperti
bidadari
(Euis menutup wajahnya seperti seorang gadis kecil)
Mungkin saja….
EUIS (Gemetar)
Tidak mungkin Juki
JUKI
Mungkin saja
EUIS (Gemetar)
Tidak mungkin. Saya tidak bisa meninggalkan dia
JUKI
Segalanya mungkin. Tidak ada tidak mungkin
EUIS
Hati saya mulai bersuara lagi
JUKI
Lakon Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer 9
Kalau begitu kau sedang membunuh dirimu sendiri. Apa kamu merasa sedang
dihukum? Apa ayahmu sedang melecutmu?
EUIS
Dada saya bergetar sangat kencangnya
JUMENA
Kalimat-kalimat ini berasal dari syahwat..



Jika blog ini menjadi salah satu referensi Anda, jangan lupa menyertakan blog ini dalam daftar rujukan Anda untuk menghargai karya orang lain dan pastinya menghindari plagiarisme. Terima kasih.

EKRANISASI NOVEL DAN FILM DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH


EKRANISASI NOVEL DAN FILM DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH
Oleh : Wildan Taufiqur Rohman

Ekranisasi, istilah ini berasal dari bahasa Prancis, Ã©cran, yang berarti layar. Eneste kemudian memberi definisi pada istilah ini sebagai pelayar-putihan, pemindahan/ pengangkatan sebuah  novel (karya sastra)  ke dalam film. Di barat sendiri sebenarnya teori ini telah berkembang lama.
Teori adaptasi, seperti diungkapkan Linda Hutcheon, bisa disebut payung teori yang lebih luas. Sapardi Djoko Damono membuat istilah ‘alih wahana’. Dilihat dari cakupan materinya, alih wahana memang lebih luas dibandingkan ekranisasi. Alih wahana mencakup pengalihan karya seni dari satu wahana ke wahana lain. Demikian pula tentunya dengan yang diungkapkan Hutcheon.
Ekranisasi, bagaimanapun, bisa menjadi bagian kajian menarik dalam sastra. Hal ini mengingat dewasa ini semakin banyaknya film yang diangkat dari novel, seperti yang telah terjadi lebih dulu di barat.

Dalam kesempatan kali ini, saya ingin menjabarkan perbedaan antara novel dengan film “Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Cerita sebenarnya dalam novel karya HAMKA ( Haji Abdul Malik Karim Abdullah ),  dengan film yang di-director-i Hanny R Saputra dan producer Manoj Punjabi. Saya akan menjabarkan  tiap bagian, mulai dari awal sampai akhir yang saya rasa terdapat perbedaan antara novel dengan filmnya. Perbedaan ini juga dapat disebabkan gambaran yang ditangkap Hanny R Saputra setelah membaca novelnya.

Cerita ini pada intinya mengisahkan dua anak manusia yang saling jatuh cinta, namun tak dapat bersatu  karena perbedaan status sosial dan tidak yakinnya perasaan cinta mereka sendiri. Perbedaan film dengan novel aslinya terdapat pada penggambaran bagaimana usaha mereka tuk bersatu. HAMKA dapat menggambarkan lewat cerita ini bahwa cinta itu indah, tapi dikemas sedemikian rupa dengan nuansa religius. Serta menunjukkan bagaimana setiap orang berjuang untuk menjalani hidup sesuai dengan apa yang kita yakini sebagai tujuan hidupnya.

Tokoh
Hamid   : Seorang pemuda Padang, umurnya berkisar19-20 tahun yang taat agama dan patuh dengan orang tua. Bersahaja, sopan tutur kata serta kelakuannya.

Zainab   : Seorang perempuan Padang yang taat agama. Dia berasal dari keluarga cukup berada, sangat menyayangi ibu dan keluarganya.

Saleh      : Seorang pemuda ramah, baik hati yang sudah menjadi sahabat Hamid sejak kecil.

Engku Haji Ja’far : Seorang kepala keluarga yang baik hati, tak banyak bicara, dan tentu saja bersahaja.
Mak Aisah            : Seorang perempuan tabah,sayang kepada anak dan suami.

Perbedaan antara novel dan film akan saya jebarkan mulai dari awal cerita, ingatlah kita perbedaan itu terjadi karena beberapa faktor. Nanti, di akhir akan saya jelaskan pendapat saya mengapa hal tersebut terjadi.Perbedaan dapat digolongkan menjadi tiga, yang pertama adalah penciutan, penambahan, dan yang terakhir adalah perubahan bervariasi.

Penciutan
Untuk melayar putihkan novel kita tidak mungkin semua hal yang terjadi dalam novel diceritakan dalam film, maka dari itu terjadi pemotongan kejadian-kejadian. Sutradara pastinya sudah menangkap hal-hal yang penting dalam  novel dan akan difilmkan.
Terdapat beberapa keadaan yang tak digambarkan dalam film, seperti bagaimana menjelaskan kematian Ayah Hamid.Dalam novel diceritakan seperti ini,
“ANAK YANG KEMATIAN AYAH, masa saya masih berusia empat tahun, ayah saya telah meninggal, ia telah meninggalkan saya sebelum saya kenal siapa dia dan betapa rupanya, hanya di dinding masih saya dapati gambarnya, gambar semasa ia masih muda, gagah..”(dalam novel)
Dalam film tak digambarkan Hamid bercerita tentang kematian ayahnya, hanya dijelaskan lewat ucapan Hamid dalam suatu kejadian di film.
Kemudian dalam novel diceritakan bahwa Hamid sangat dekat dengan keluarga Engku Ja’far dan mereka sempat pergi bersama-sama.
“Hari Minggu kami diizinkan pergi ke tepi laut. Ke muara atau ke tepi Batang Arau, melihat perahu pengail yang sedang di lambung-lambungkan gelombang di tengah lautan yang luas, kain layarnya dipuput oleh angin yang menghantarkannya ke tengah, akan mencari rezekinya. Negeri Pariaman hijau nampaknya dari jauh, ombak memecah dan menderum tiada berhenti memukul pasir tepi itu. Di sana kami berlari-larian mengejar ambai-ambai yang segak dan lekas lari...”(dalam novel)
Tetapi dalam filmnya tak pernah diperlihatkan mereka pergi bersama ke pantai bersama ternyata penciutan juga terjadi dalam menceritakan awal Hamid bertemu Mak Aisah dan Zainab.
“Tiap-tiap pagi saya lalu di hadapan rumah itu menjunjung nyiru berisi goring pisang, mata saya sentiasa memandang ke jendela-jendelanya yang berlangsir kain sutera kuning, hendak melihat keindahan perhiasan rumahnya. Fikiran saya menjalar, memikirkan kesenangan hati orang yang tinggal dalam rumah itu, cukup apa yang dimakannya dan diminumnya; airliur saya meleleh bila saya ingat, bahawa kami di rumah kadang-kadang makan, kadang-kadang tidak. Setelah saya meninggalkan halaman rumah itu, maka dengan suara yang merawankan hati saya panggilkan jualan saya; "Beli goreng pisang! Masih panas!"
Lama kelamaan tertariklah perempuan yang setengah tua itu hendak memanggil jualan saya, demikian juga anaknya. Pernah kedengaran oleh saya ia berkata: " Panggillah Nab kesian juga saya!"
 Perempuan itu suka memakan sirih, mukanya jernih, peramah dan penyayang. Pak Leman yang telah menjadi jongos untuk memelihara perkarangan itu, belum pernah dapat suara keras daripadanya. Anak perempuannya itu masih kecil, sama dengan saya. Apa perintah ibunya diikuti dengan patuh, rupanya ia amat disayangi kerana anaknya hanya seorang itu.
Sudah dua tiga kali saya datang ke rumah indah dan bagus itu; setiap kali saya datang bertambah sukanya melihat kelakuan saya dan belas kasihan akan nasib saya. Pada suatu hari perempuan itu bertanya kepada saya; " Di mana engkau tinggal anak, dan siapa ayah bondamu?"(dalam novel)
Dalam film tak pernah diceritakan bagaimana mereka bertemu, hanya dijelaskan melalui ucapan tokoh.

Penambahan
Seperti yang saya katakan tadi di awal, bahwa sutradara sebelumnya telah memilih hal-hal yang penting dalam novel, sehingga ada kemungkinan penambahan pada alur, tokoh, latar atupun suasana. Saya menemukan penambahan itu dalam film ini, ini yang dapat saya temukan,

Kemudian kisah cinta mereka mulai mendapat ujian. Jika kita dapat temukan, dalam novel ujian itu dimulai ketka Engku Ja’far meninggal dunia, mulai disinilah cinta mereka di uji.
“SEPERUNTUNGAN Setelah beberapa lama kemudian, dengan tidak disangka-sangka satu musibah besar telah menimpa kami berturut-turut. Pertama ialah kematian sekonyong-konyong dari Engku Haji Jaafar yang dermawan. Ia seorang yang sangat dicintai oleh penduduk negeri, kerana ketinggian budinya dan kepandaiannya dalam pergaulan; tidak ada satu pun perbuatan umum di sana yang tak dicampuri oleh Engku Haji Jaafar. Kematiannya membawa perubahan yang bukan sedikit kepada perhubungan kami dan rumahtangga Zainab. Dia yang telah membuka pintu yang luas kepada saya memasuki rumahnya di zaman hidupnya, sekarang pintu itu mahu tak mahu telah tertutup. Sebagai seorang lain, Pertemuan kami tidak berleluasa seperti dulu lagi. Ah…. zaman semasa anak-anak, dia telah pergi dari kalangan kami dan tak akan kembali lagi…”(dalam novel)
nah, sekarang akan saya tunjukkan perbedaan hal yang menguji cinta mereka. Dalam film ujian itu bermula diusirnya Hamid yang di asingkan dari kampong karena telah memberikan nafas buatan kepada Zainab yang tak sadarkan diri setelah tercebur ke dalam sungai. Saat itu Zainab ingin melihat lomba, bisa dikatakan seperti itu,  yang pada saat itu Hamid menjadi salah satu peserta. Karena tergesa-gesa Zainab yang belum bisa menguasai sepedanya itu langsung saja tercebur kedalam kolam.
Beberapa gambar yang dapat saya jadikan bukti bahwa kejadian itu ada di film namun dalam novel tidak ada.

Perubahan Bervariasi
Karena novel mengalami oenciutan dan penambahan, maka memungkinkannya terjadi perubahan bervariasi agar secara garis besar cerita tidak merubah  inti dari cerita dalam novel. Beberapa hal yang saya golongkan dalam perubahan bervariasi sebagai berikut,
Awal cerita,
“ MEKKAH PADA TAHUN 1927, harga getah di Jambi, di seluruh tanahair sedang naik, negeri Mekah baharu sahaja pindah dari tangan Shariff Hussin ke tangan Ibn Sa'ud, Raja Hijaz dan Najad dan daerah takluknya yang kemudian ditukarkan namanya menjadi kerajaan "Arabiah Sa'udiah". Setahun sebelum itu telah naik haji dua orang yang kenamaan dari negeri kita. Keamanan negeri Hijaz, telah tersiar. Kerana itu banyak orang yang berniat menyempurnakan Islam yang kelima itu. Tiap-tiap kapal haji yang berangkat menuju Jeddah penuh...”(dalam novel)
 Dalam novel menceritakan apa yang terjadi di Mekkah pada saat itu, namun dalam film awal cerita digambarkam dengan kereta api yang mengangkut penumpang dan salah satu penumpang itu adalah Hamid yang telah lulus sekolah. Saat itu Hamid sedang memandangi foto seorang gadis, yaitu Zainab yang memakai kerudung putih.

Terdapat perbedaan cara menggambarkan perasaan Hamid terhadap Zainab antara dalam novel dengan film,
“Demikian lah pelajaran itu telah saya tuntut dengan bersungguh hati, tetapi…. Semenjak mula saya pindah ke Padang Panjang, sentiasa saya merasa keseorangan. Kian lama saya tinggal dalam negeri dingin itu, kian terasa oleh saya bahawa saya sebagai seorang yang terpencil. Keindahan alam yang ada di sekeliling kota dingin itu menghidupkan kenang-kenangan saya kepada hal-hal yang telah lalu. Gunung Merapi dengan kemuncak tandikat waktu matahari akan terbenam dan mempertaruhkan jabatan memberi cahaya kepada bulan, singlang yang sentiasa diliputi dengan kebun-kebun tebunya yang beriak-riak ditiup angin, semuanya membangkitkan perasaan-perasaan yang ganjil, yang sangat mengganggu fikiran saya.”(dalam novel)
Mulai disinlah awal dari perasaan yang ganjil dari Hamid kepada Zainab. Dan dalam film yang tidak ada dalam novel sangat banyak sekali. Sepertinya sutradara menggambarkan perasaan antara Hamid dan Zainab dengan beberapa cara. Saya akan menjabarkan beberapa perbedaan film dengan novel yang telah saya temukan.

Jika dalam  novel diceritakan seperti ini,
“Apabila sekolah saya tutup, segala segala cita-cita yang telah saya reka selama belajar, dan telah saya susun di jalan antara Padang Panjang dengan Padang semuanya dapat saya jalankan; ibu saya menitik airmata kerana kegirangannya, Engku Haji Jaafar tersenyum mendengar saya mengucapkan terima kasih. Mak Asiah memuji-muji saya sebagai seorang anak yang berbudi, Cuma ketika berhadapan dengan Zainab dalam rumahnya, mulut saya tertutup, saya menjadi seorang yang bodoh atau pengecut. " Bila abang pulang?" Katanya. " Pukul sepuluh pagi tadi." Jawab saya. " Apa khabar?Baik?" " Alhamdulillah………." Setelah itu saya menjadi bingung, tidak tentu lagi apa yang akan saya terangkan kepadanya. Segala rancangan saya terhadap dirinya yang saya reka-rekakan tadi, semuanya hilang. Ia melihat tenang-tenang kepada saya, seakan ada pembicaraan saya yang ditunggunya, tetapi kian lama saya kian gugup, sehingga sudah lalu hampir lima belas minit, tidak ada diantara kami yang bercakap. "Mudah-mudahan kelak selamatlah, dan kerapkali datang kemari kalau masih di rumah"- katanya..”(dalam novel)
kita dapat lihat perbedaan gambaran dari film yang kita lihat, sangat berbeda sekali.
Dan bukti bahwa Hamid masih ragu dengan apa yang dia rasakan, dapat dilihat dari kutipan dalam novel berikut ini,
“Mustahil ia akan dapat menerima cinta saya, kerana dia langit dan saya bumi, bangsanya tinggi dan saya daripada kasih sayang ayahnya. Bila saya tilik diri saya, tidak ada padanya tempat buat lekat hati Zainab. Jika kelak datang waktunya orang tuanya bermenantu, mustahil pula saya akan temasuk golongan orang yang terpilih untuk menjadi menantu Engku Haji Jaafar, kerana tidak ada yang akan dapat diharapkan…”(dalam novel)
Beberapa hal yang mengalami perubahan variasi terdapat pada alasan Hamid pergi dari Padang, itu bermula dari kejadian nafas buatan yang diberikan Hamid pada Zainab.

Sesampai di tepian sungai, Zainab diangkat orang-orang dan mereka berusaha untuk membangunkan zainab, naming Zainab tak kunjung sadar, Hamid merasa cemas langsung meraih tubuh Zainab dan memberikan nafas buatan. Setelah beberapa saat Zainab sadar, padahal dalam masa itu, memegang tubuh bahkan ‘mencium”(tak secara langsung karena Hamid hanya berniat untuk memberikan nafas buatan) adalah yang sangat dilarang.
Saat itu juga semua orang langsung menganggap bahwa Hamid buka pemuda yang baik-baik dan para “orang tua” berembug untuk menanggapi apa yang dilakukan Hamid kepada Zainab. Dan pada esok petangnnya, para “orang tua’ memanggil Hamid untuk ditanyai pertanggung jawaban atas perbgai orang lain lagi, almarhum telah memasukkan engkau ke dalam golongan kami, walaupun beragih tetapi tak bercerai. Maka di atas namanya hari ini, di atas nama Haji Jaafar mak meminta tolong melembutkan hati adikmu."
" Oh itu namanya perintah, saya kabulkan permintaan mak."(dalam novel)
Kemudian Hamid berusaha untuk membujuk Zainab, namun Zainab hanya diam  saja. Setelah kejadian itu, Hamid berpikir lebih baik pergi meninggalkan Zainab.
“Memang, mula-mula hati itu mesti bergoncang; bukahkan loceng-loceng dirumah juga berbunyi keras dan berdengung jika kena pukul? Tetapi akhirnya, dari sedikit ke sedikit, dengung itu akan berhenti juga. Cuma saja saya mesti berikhtiar, supaya luka-luka yang hebat itu jangan mendalam kembali, saya mesti berusaha, supaya ia beransur-ansur sembuh. Untuk itu saya mesti berusaha, saya mesti meninggalkan Kota Padang, terpaksa tak melihat wajah Zainab lagi, saya berjalan jauh.
Setelah saya siapkan segala yang perlu dan rumahtangga saya pertaruhkan kepada salah seorang sahabat handai yang setia, dengan tak seorang pun yang mengetahui, saya berangkat meninggalkan Kota Padang, kota yang permai dan yang sangat saya cintai itu, dengan menekankan dan membunuh segala perasaan yang sentiasa mengharu hati, saya tumpangi kereta yang berangkat ke Siantar. Di kiri kanan saya banyak penumpang lain yang akan menuju ke kota Medan, setelah saya sampai ke Medan, saya buat surat kepada Zainab, sesudah hati saya, saya beranikan; itulah surat saya yang pertama kali kepadanya. Jika kelak ternyata dia tak cinta kepada saya, syukur, sebab saya tak melihat mukanya yang kesal membaca surat. Tetapi kalau ia nyata ada mempunyai perasaan sebagi yang saya rasai dan surat itu diterimanya dengan sepertinya, tentu sekurang-kurangnya saya akan menerima belas kasihannya, sebagai seorang melarat yang diarak oleh untung nasib saya…”(dalam novel)
Hamid pin pergi meninggalkan Kota Padang dan Zainab. Yamg berbeda adalah hal yang terjadi setelah Hamid pergi. Saya akan menunjukkan perbedaan itu. Dalam film, sebelum hamid pergi meninggalkan Padang, dia berpamitan kepada Mak Aisah. Namun tak sempat berpamitan dengan Zainab. Tetapi sesaat Hamid pergi, Zainab keluar kamar, mengetahui jika Hamid berniat meninggalkan Padang, dia pun lekas-lekas ingin bertemu Hamid.



Jika blog ini menjadi salah satu referensi Anda, jangan lupa menyertakan blog ini dalam daftar rujukan Anda untuk menghargai karya orang lain dan pastinya menghindari plagiarisme. Terima kasih.

REFLEKSI CERPEN (Analisis): "Dodolitdodolitdodolitbret" karya Seno Gumirah Aji Darma

Nama: Wildan T.R 

Judul : Dodolitdodolitdodolibret
Karya : Seno Gumirah Ajidarma

Mengisahkan seseorang yang merasa dirinya seorang guru yang mampu berdo’a dengan benar, berkelana untuk mengajarkan cara berdo’a dengan benar menurutnya. Memberi tahu hidup itu seperti apa, pokoknya ia merasa yang paling mengerti tentang hidup. Ia berpaham bahwa orang yamng mampu berdo’a dengan baik dapat berjlan di atas air.
Hingga suatu saat ia berkelana ke daerah pulau yang terletak di tengah danau yang luas sekali. Ia merasa bahwa sekua penduduk di sana pasti tidak dapat berdo’a dengan benar karena daerah yang terpencil, jauh dari desa lain. Sesampainya di pulau itu ia mengajarkan beberapa orang untuk berdo’a dengan benar, ia hampir putus asa karena ia kesulitan untuk memberikan ilmunya kepada mereka. Mereka sulit mengerti, bahkan cara berdo’a mereka seperti meminta kutukan ke diri mereka sendiri. Namun Kiplik tak patah semangat untuk mengajarkan cara berdo’a dengan benar.
Setelah berusaha dengan keras, Guru Kiplik berhasil membuat mereka dapat berdo’a dengan benar. Kemudia ia memutuskan untuk kembali. Ia mengambil galah dan menaiki sampan. Di tengah danau ia mendengar  beberapa orang memanggil namanya, ia menoleh dan terkejut. Orang-orang yang diajanya tadi berlari diatas air, mereka berteriak karena lupa cara berdo’a dengan benar menurut Guru Kiplik dan mengingunkan Guru Kiplik kembali.
Cerpen ini sungguh menyindir apa yang sering terjadi di sekitar kita. Sering kita menemui hal seperti itu. Seseorang yang merasa dirinya paling mampu di antara yang lain padahal terdapat orang yang lebih mampu daripada dia sendiri. Cerpen ini tidak terkesan menggurui, pengarang menyindir secara halus bahkan pembaca tak merasa bahwa cerpen ini tidak menyindir, dikemas dengan bahasa yang sederhana sehingga mudah dimengerti jalan ceritanya.
J.A.J

APRESIASI PUISI (Analisis): "O" karya Sutadji Calzoum Bachri dengan Pendekatan Objektif



Karya Sutardji Calzoum Bachri

 
O

dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalaian siasiasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O . . . .

(O, 1970)

 
 




1.    Struktur Global

Puisi di atas adalah puisi kontemporer, istilah kontemporer ini menunjuk pada waktu bukan pada puisi tersebut, sebab pada masa kontemporer ini banyak model puisi yang konvensional. Kecenderungan puisi kontemporer menampilkan struktur tematik dan struktur sintaktik yang berbeda dengan puisi-puisi sebelumnya.

Puisi di atas terdiri dari delapan larik dan itu semua mengungkapkan tema Ketuhanan. Ketuhanan dapat kita tangkap lewat penggunaan bahasanya. Kata-kata yang sering diulang atau repetisi membantu menciptakan suasanakegelisahan dan konflik batin dalam pencarian Tuhan itu. Hal ini dapat diketahui jika teliti dari larik demi larik berikut :

a. Larik pertama : dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
Pada larik pertama, terdapat kata duka sebanyak lima kata, itu mengartikan bahwa pengarang benar-benar merasa duka. Intensitas kata yang muncul menandakan pengarang ingin memberikan tekanan pada kata itu.

b. Larik kedua : resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
Larik kedua, terdapat kata “resah” sebanyak lima kata, tak jauh berbeda pada larik pertama, pengarang menekankan kata “resah”, itu berarti pengarang merasakan resah pada “aku”, “kau”, “kalian” yang terlalu. Permainan kata juga terdapat pada larik kedua, yaitu “resahrisau” dan “resahbalau”.

c. Larik ketiga : raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
Larik ketiga, terdapat kata “ragu” sebanyak lima kata, tak jauh berbeda dengan larik pertama dan kedua. Pengulangan kata menandakan penekanan, “ragu” dirasakan oleh “aku” “kau” “guru”, dan “kalian”. “Ragutahu” berarti “aku” merasakan keraguan untuk tahu sesuatu hal.

d. Larik ke-empat : mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
Larik ke-empat, terdapat kata “mau” sebanyak tujuh kata, lebih banyak daripada larik pertama hingga ketiga. Kemauan lebih besar daripada duka, resah, ragu.  Tetap saja si “aku”, “kau”, dan “kalian” yang merasakan kemauan itu. Kemauan itu berbeda-beda, seperti ingin tahu pada “mautahu”, ingin sampai pada “mausampai”, ingin kenal pada “maukenal”, dan ingin menggapai pada “maugapai”.
e. Larik kelima : siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalaian siasiasia
Larik kelima, terdapat kata “siasia” sebanyak tujuh kali, jumlah ini sama dengan kata “mau” pada larik sebelumnya. Dapat diartikan jika kemauan si aku, kamu, dan kalian menjadi sia-sia. “siasiasia”, “siabalau”, “siarisau” merupakan permainan kata.

f. Larik ke-enam : waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswas
Larik ke-enam, terdapat kata “waswas” sebanyak tujuh kali, jumlah ini juga sama dengan kata”mau”, “siasia” sehingga dapat diartikan bahwa setelah kemauan si “aku”, “kau”, dan “kalian” berubah menjadi sia-sia, ke-sia-siaan mereka berubah menjadi was-was.
g. Larik ketujuh : duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
Larik ketujuh, terdapat kata “duhai”, si “aku” menyapa “kau”, “kalian”, mengartikan jika si”aku” ingin semua juga tahu, termasuk “rindu” dan “ngilu”, sedangkan  “duhaisangsai” merupakan permainan kata.

h. Larik kedelapan : oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O . . . .
Larik kedelapan, sedikit berbeda dengan larik-larik sebelumnya, “o” bermakna lebih dari sekadar huruf “o”, dalam “oku”, “okau”, dan “okalian”. “o” seperti sesuatu hal, kemudian kata ”bolong” yang berarti berlubang dan kata “okosong” dapat berarti suatu kekosongan. Kata yang menonjol adalah penulisan “oKau”, dapat dirartikan bahwa “Kau” adalah Tuhan.
Dengan demikian, struktur makna global dari puisi O bertemakan Ketuhanan. Pengarang begitu menekanan pada kata resah, ragu, mau, sia-sia, waswas, duhai, dan o adalah sebuah tekanan yang memberi makna lebih pada duka, keresahan yang akhirnya menimbulkan ragu dan juga keingintahuan walaupun itu hanya sia-sia dan membuat waswas. Pengulangan kata itu merupakan penekanan juga pada artinya. Kegelisahan yang menjadi konflik batin si “aku” bermula dari perasaan duka, keresahan, keraguan hingga muncul kemauan untuk mengenali/ menggapai Tuhan, namun kemauan itu hanya menjadi sia-sia. Kesia-siaan itu kemudian membuat perasaan si “aku” menjadi was-was. Pencarian itu dirasa tak ada hasil, kosong. Duka, resah, dan keraguan hanya bisa dikembalikan kepada Tuhan.

2.    Penyair dan Kenyataan Sejarah
Faktor penyair dan kenyataan sejarah akan membantu melengkapi pembahasan puisi ini dengan mengenali latar belakang pengarang. Sutardji Calzoum Bachri lahir 24 Juni 1941 di Rengat, Riau. Ia muncul di periode 1970-an yang banyak memunculkan puisi kontemporer. Puisi kontemporer menampilkan struktur tematik dan struktur sintaktik yang berbeda dengan puisi-puisi sebelumnya.

Kecenderungan yang dibawa oleh Sutardji Calzoum Bachri yang pertama ialah menghidupkan kembali mantra-mantra Melayu dalam puisi Indonesia modern. Mantra berarti penggunaan kata-kata atau bunyi-bunyi yang berulang untuk menciptakan daya magis. Kecenderungan lain yang ia bawa ialah puisi konkret yang mementingkan bentuk grafis atau tata wajah, disusun mirip dengan gambar. Di samping makna yang ingin disampaikanoleh penyair, ia juga ingin memperlihatkan kemanisan susunan kata-kata dan baris serta bait yang menyerupai gambar.

Puisi-puisi Sutardji sangat memukau diantaranya disebabkan karena sang penyair mampu memutar balikkan makna kata, loguka kata, dan juga pengulangan kata-kata. Jika dibaca sepintas tak terasa memukau, namun jika dibaca lebih jauh, pemutar balikkan dan pembuatan variasi kata-kata itu begitu cerdas dan bermakna. Pengulangan kata-kata yang berlebih juga mengandung makna tertentu yakni memperkuat apa yang hendak disampaikan.

 

3.   
Analisis struktur Fisik dan Struktur Batin

Dalam mengapresiasi sebuah puisi,perlu mengetahui struktur fisik dan batin yang dibangun oleh spuisi tersebut.

a. Struktur Fisik Puisi

Penyair memilih kata-kata yang mnimbulkan suasana tertentu. Kata-kata itu terkadang memiliki makna kias, makna sesungguhnya, dan makna lambang.

Diksi yang digunakan kebanyakan makna sesungguhnya, seperti yang dikatakan Sutardji Calzoum Bachri dalam “KredoPuisi” bahwa kata itu adalah pengertian itu sendiri tidak harus bermakna lain. Sehingga dalam puisinya ini banyak terdapat makna sesungguhnya/denotasi. Namun, yang perlu disoroti adalah kata “oKau”, kata ini dapat berarti penyair menyinggung/memanggil Tuhan, Oh Kau/oh Tuhan. Sedangkan “obolong” dan “okosong” merupakan lambang kekosongan.
Pengimajian dalam puisi “O” ini terdapat beberapa pengimajian antara lain penglihatan, pedengaran, dan cita rasa. Indera perasa dilibatkan dalam kata ”duka”, “resah” “ragu” “ngilu”, “sia-sia”, dan “waswas”, sehingga pembaca seakan ikut merasa duka, resah, ragu, ngilu, sia-sia, dan was-was dengan membaca puisi tersebut.
Pengimajian melalui indera pendengaran terlihat dari kata ”dukangiau” karena kata ngiau adalah suara hewan yakni kucing sebagai suatu bahan perbandingan. Selain itu juga ada pengimajian melalui indera penglihatan, yaitu pada kata ”okosong” dan ”obolong” karena kosong dan bolong itu hanya bisa diketahui dangan melihat suasana. Semuanya bertujuan membawa pembaca dengan segenap inderanya bisa merasakan duka, resah, ragu, ngilu, sia-sia, dan was-was yang ada dalam puisi tersebut.
Rima pada Puisi “O” karya Sutardji Calzoum Bachri ini banyak menggunakan pengulangan sebanyak 5 kali, bahkan tujuh kali seperti pada kata “waswas”. Pengulangan yang dilebih-lebihkan jika dibaca sepintas lalu terkesan bahwa penyair ingin mempermainkan kata-kata atau suku kata yang diulang. Namun jika pikir lebih lanjut, perulangan yang berlanjut itu tentu mengandung makna tertentu yakni memperkuat apa yang hendak diungkapkan.
Tipografi atau tata wajah memberikan nuansa makna dan suasana tertentu dan dapat menampilkan aspek artistik visual. Secara tipografi, dengan memerhatikan tampilan penataan antar larik pada puisi O karya Sutardji Calzoum Bachri, tampak pada sisi kiri memiliki struktur bentuk yang rata. Hal ini  mengesankan suatu tampilan karakter stabil, lurus, teguh, mantab, dan meyakinkan.

b. Struktur Batin Puisi

Perasaan gelisah, ragu dan pasrah timbul sewaktu membaca puisi ini, hal tersebut disebabkan pengulangan kata yang berlebih. Pengulangan sebanyak 5 kali, bahkan tujuh kali seperti pada kata “waswas”, ini yakni pengulangan kata guna menekankan arti pada kata itu. Begitu juga penekanan pada kata resah, ragu, mau, sia-sia, waswas, duhai, dan o adalah sebuah tekanan yang memberi makna lebih pada duka, keresahan yang akhirnya menimbulkan ragu dan juga keingintahuan walaupun itu hanya sia-sia dan membuat waswas. Pengulangan kata itu merupakan penekanan juga pada artinya, bahkan kata.

4.    Sintesis dan Interpretasi
Secara umum, puisi menceritakan kegelisahan yang dialami tokoh si “aku”, kegelisahan dalam mencari Tuhan. Kegelisahan ini yang menjadi konflik batin si “aku”. Bperasaan duka, keresahan, keraguan hingga muncul kemauan untuk mengenali/ menggapai Tuhan, namun kemauan itu hanya menjadi sia-sia. Kesia-siaan itu kemudian membuat perasaan si “aku” menjadi was-was. Pencarian itu dirasa tak ada hasil, kosong. Duka, resah, dan keraguan hanya bisa dikembalikan kepada Tuhan.
Sikap penyair terhadap masalah adalah mengembalikan kepada Tuhan,oleh karena itu pengarang tak memberi penyelesaian di akhir puisi. Sikap penyair terhadap pembaca adalah dia menginginkan pembaca juga ikut merasa kan perasaan penyair. Terbukti pada “resahkau”, “resahkalian” dan lainnya.
Tema puisi O karya Sutardji Calzoum Bachri bertemakan Ketuhanan. Hal ini tergambar dari gambaran umum tentang usaha pencarian Tuhan, dari gambaran tersebut diceritakan perasaan tak menentu/ konflik batin yang dirasakan si “aku” dalam pencarian Tuhan.

Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Surakarta: Erlangga.
Adiel. 2009. ANALISIS SAJAK O KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI. (Online), (http://adiel87.blogspot.com/2009/01/analisis-sajak-o-karya-sutardji-calzoum.html), diakses 2 September 2012.




CARA GRADING ATAU KATROL NILAI DENGAN SPREADSHEET ATAU EXEL

  Di atas adalah preview dokumen spreadsheet untuk grading atau katrol nilai dengan objektif. singkat saja, pasti yang cari sedang bingung k...