CERPEN: K E J I M A N karya Wildan 'Jayus' T. Rohman

Setiap malam tanpa sepengetahuannya, aku menyulut dupa, membakar kemenyan, dan merapalkan mantra. Lalu kuremah gumpalan tanah kubur dan kusebar di bawah kasur. Aku bisa meminta siapa saja merasukinya. Ketika aku ingin lelaki perkasa macam kuli, aku panggil saja Limbung yang mati tertindih batu kali. Atau ketika aku ingin bermain-main, aku panggil saja Jambrong bocah kelas empat sekolah dasar yang mati disodomi lalu dimutilasi saudaranya sendiri. Siapa saja itu bergantung pada fantasi dan satu —asalkan dia sudah mati—.
*
Kasur hitam bertepikan merah terlihat berjajar di sepanjang jalan. Dijemur-dipukul. Debunya bertebaran. Pemukulnya sesenggukan penontonnya berlarian. Orang sedusun mepe kasur menyusul rentetan kematian. Yang membuat orang geleng-geleng keheranan: Semua yang mati adalah lelaki, nihil perempuan. Dan kurun hampir sebulan ada tujuh kematian.
“Mulai dari sekarang, para lelaki jangan asal dolan. Harus eling waktu. Kalau tidak ada urusan penting, lebih baik di rumah saja. Segala macam pekerjaan yang bisa mendatangkan bahaya, harus ditinggalkan.” Ucap Pak Direjo calon Lurah dengan lirikan menuju saingannya.
“Ini sudah tanggung jawab kita bersama. Nanti tolong setiap ketua RT disini memberikan nama-nama kepala keluarga yang seprofesi dengan almarhum agar bisa saya santuni. Cukup Mbah Teguh sebagai orang terakhir, jangan ada lagi.” Imbuh Lurah Blor sambil memelintir kumisnya yang naik turun acap kali berucap.
Kisah Mbah Teguh yang mati gantung diri beberapa hari lalu seperti menjadi pukulan. Banyak sebab yang digaduhkan orang sedusun bahkan orang dusun sekitar berbondong-bondong berkunjung ke rumah Mbah Teguh, ada yang takziah atau hanya sekadar ingin tahu rumahnya. Dan tentu saja ada satu hal yang mereka bicarakan: Sebab kematian.
Geger pasar meruncingkan sebab: Disantet suami penari gandrung terop yang digerayangi penabuhnya sendiri. Geger sawah: Ia tak betah hidup sebatang kara. Geger pangkalan ojek: Kerasukan setan selepas mabuk malam itu. Geger masjid: Mati karena waktunya, —klise—.  Dari semua geger yang meruncing, yang paling diterima akal masyarakat adalah Mbah Teguh memilih gantung diri karena lelah hidup miskin dari upah menabuh kendang yang tak cukup untuk menghidupinya meski sekadar untuk mengisi perut.
Kematian Mbah Teguh juga membuat para tetangga melihatku kian miring dengan sorot mata penuh tanya atas keputusanku memilih Mas Pandu, seorang penari Barong. Dalam kepercayaan dusunku hanya ada dua nasib bagi lelaki penggiat seni tradisi: Bujang lapuk atau tukang mabuk. Banyak orang mengira Mas Pandu kupilih karena ia ampuh bermain mantra kuning waktu geridhoan. Namun, itu sebenarnya tidak ada hubungannya, sama sekali.
*
Kembang abang selebrang nong isor kasur
Kamar wis wangi
Isun celuk, mrene
Kene, isun wis ayu
Isun wis wangi kembang
Pun gyayab
Mulo, gancang

Hujan turun deras di tengah malam. Kodok-kodok yang tadinya ngorok serampangan kini terbangun dan memaksa membuat konser dari ngorok dengan birama entah berapa dengan do darimana. Anjing betina lebih memilih meringkukkan badannya, sementara pejantan berkeliaran di tengah hujan sambil menggonggong tanda waktu yang tepat untuk kawin.
Sesaat sebelum ia pulang, seperti biasa, aku menyulut dupa, membakar kemenyan, dan merapalkan mantra. Lalu kuremah gumpalan tanah kubur dan kusebar di bawah kasur. Sesuai perkiraan, Mas Pandu datang beberapa saat setelah ritualku selesai lalu langsung duduk mencumbu kopi lanang yang sudah kusiapkan di meja makan untuk sesi basa-basi sepasang suami-istri.
Ia hampir tersedak di seruputan pertama mendapati perempuannya duduk di seberang sedang telanjang. Ia naik-turunkan jakunnya. Sorot matanya menelan sekujur tubuhku yang hanya berhiaskan bintik-bintik air selepas mandi. Tak ada yang lolos dari sorot matanya: Ujung rambut sampai ujung jembut.
Hujan deras di luar sana membuat sekujur batang pohon basah pun dengan ujungnya. Akar pohon yang bersembunyi dalam tanah juga ikut basah. Langit tak ingin ada yang lolos darinya. Dalam sesi basa-basi sepasang suami-istri itu aku yakin Mas Pandu juga sudah basah. Jakunnya makin cepat naik-turun, aku bangkit lalu berjalan ke kamar dengan senyum berahi mengekor.
“Jangan dulu masuk Mas, isun macak myakne ayu kanggo siro, Mas.” Kuremangkan nyala ublik9. Sambil merebahkan tubuh di atas kasur, aku mulai merapalkan mantra dan tentu saja kusisipkan sebuah nama.
Betina menyibakkan semak rimbun melihat pejantan mondar-mandir di sekitarnya. Pejantan masuk. Tertegun melihat betina dengan sekujur bulunya yang mengkilap basah kena hujan. Lidah dan ludahnya keluar hampir bersamaan. Perlahan mengendus sekitar memeriksa barangkali ada sesuatu yang mengancam, tapi yang ia dapat malah bukan sebuah ancaman, namun berahi yang kian menakutkan.
Mengitari betinanya atau entah betina siapa. Anjing tak perlu memikirkan punya siapa, yang penting adalah meluapkan berahinya. Pejantan itu mulai menjilati lidah si betina lalu ke sekujur bulunya. Kini lidah dan ludah betina juga hampir keluar bersamaan. Tahu tak akan membuat sekujur bulunya mengering, jilatan itu sekarang menuju lubang si betina. Menggila. Belum puas. Pejantan menata pijakan lalu menungganginya. Terdengar lolong betina keenakan dari balik semak rimbun yang tertutup konser kodok dan derasnya hujan.

Isun ngerti iki dudu siro
Siro isun celuk ben isun seneng
Siro manut nong isun mergo siro bakal seneng nong isun

“Aku bersyukur memiliki kau sebagai istri. Semoga kau betah hidup denganku. Aku akan berusaha melepaskan kita dari keadaan seperti ini.” Pelukan Mas Pandu mengerat.
“Aku tak terganggu dengan keadaan kita yang seperti ini Mas. Aku sudah merasa cukup dan bersyukur memiliki suami seperti Mas.” Kujawab seperti yang sudah-sudah.
“Aku selalu takut kau akan tergoda dengan lelaki lain yang lebih punya daripada aku.” Ciumannya mendarat di pundakku.
“Tidak ada lelaki lain yang bisa menggodaku untuk berpaling. Mas tenang saja.” Aku selalu hafal dialog sehabis senggama ini.
“Orang matilah yang sanggup menggodaku.” Imbuh batinku.
*
Dusun benar-benar sepi. Lebih seperti dusun mati. Pukul tujuh malam seluruh rumah menutup pintu. Sepanjang jalan, aku sudah jarang melihat lelaki berkeliaran. Lelaki yang dulu sering terlihat kumpul di sudut-sudut dusun pun sudah hilang. Hanya di rumah Lurah Blor terlihat ramai. Terlihat beberapa lelaki berdiskusi serius dan yang lain menyeruput kopi.
Terdengar pintu dibuka dan disusul langkah mengekor kian dekat.
“Sudah kau terima suratku yang kuselipkan lewat sembako tempo hari?”
“Sudah.”
“Lalu bagaimana tanggapanmu?“
“Tetap tidak bisa.”
“Kamu masih tahan dengan keadaanmu sekarang?”
“Ini bukan tentang urusan mampu tidaknya ekonomi.”
“Lalu tentang apa lagi? Akan saya cukupi juga, malah lebih dari cukup.”
Aku tidak menjawab. Aku hanya diam dan melenggang melanjutkan berjalan. Lelaki itu hanya menyiratkan wajah tidak ketidakpuasan.
Lepas dari pertemuanku dengan Lurah Blor. Ia menggila dan mulai berlaku seenak udelnya. Memanfaatkan kekuasaannya, semua relasi yang berhubungan dengan Mas Pandu dipersulit. Sanggar Barong sudah tak mau menerima Mas Pandu sebagai penarinya, mereka berdalih sudah saatnya regenerasi. Lalu lain lagi, sepeda Mas Pandu dicuri bocah ingusan dengan upah rokok sebungkus. Bahkan tak cukup sampai disitu, Mas Pandu dihajar preman bayaran karena tak bisa kasih uang jajan sewaktu di jalan pulang. Aku tahu semua kesialan itu karena ulahnya.
“Bagaimana? Penawaranku tetap berlaku Yu.” Tanyanya suatu waktu sepulangku dari kuburan.
“Bapak sudah gila.” Aku terus berjalan.
“Aku bisa lebih gila kalau Yu tidak mau denganku.” Kumisnya ia plintir menunjukkan kegilaan.
“Ada satu syarat yang harus kau penuhi jika Bapak benar-benar menginginkanku.” Aku berhenti berjalan.
“Apa itu?”
“Bapak harus mati, itu syaratnya.”
Tak ada jawaban. Lurah Blor terpaku. Sementara aku berlalu. Memunggunginya. Tak terdengar lagi derap langkah mengekor.
Malam berikutnya. Dusun tak lagi sepi seperti biasa. Suara kentongan dimana-mana. Lelaki keluar rumah dengan sendirinya. Memeriksa dan saling tanya pada sumber suara. Lurah Blor ditemukan mati dengan mulut menganga dan sedikit berbusa di atas kasurnya sendiri. Istri dan anaknya diciduk polisi untuk diinterogasi.
Sementara, Pak Direjo sekeluarga lari terbirit-birit. Beberapa orang tak dikenal mengacungkan arit. Mereka menerabas sawah dan akhirnya terperosok ke dalam parit. Tak bisa menghindar lagi, orang-orang itu menebas, kepalanya lepas. Istri-anaknya menangis histeris dengan bercak darah di muka. Malam itu dusun gaduh segaduh-gaduhnya.
Paginya, kasur hitam bertepikan merah terlihat berjajar di sepanjang jalan. Dijemur-dipukul. Debunya bertebaran. Pemukulnya sesenggukan penontonnya berlarian. Orang sedusun mepe kasur menyusul rentetan kematian. Yang membuat orang geleng-geleng keheranan: Lagi-lagi semua yang mati adalah lelaki, nihil perempuan. Kini, dari tujuh kematian menjadi sembilan kematian dalam kurun genap sebulan. Dan tentu saja ada satu hal yang selalu mereka bicarakan: Sebab kematian.
Malamnya, seperti biasa, aku menyulut dupa, membakar kemenyan, dan merapalkan mantra. Lalu kuremah gumpalan tanah kubur dan kusebar di bawah kasur. Namun, yang terjadi selanjutnya tak seperti biasa: Yang kupanggil siapa yang keluar siapa. Lelakiku tak berkumis, tetapi ia memelintir bagian atas bibir seolah ia berkumis.
Tak ada hujan pun tak tengah malam. Tak ada kodok ngorok serampangan. Dan tak seperti biasa, pejantan melolong lebih lantang. Di bawahnya, betina keenakan ditunggangi pejantan yang kegirangan. Ekornya mengibas kiri-kanan mengusir lalat yang datang. Lalat sendiri tak tahu siapa yang mengundang dan lalat memang tak butuh diundang, mereka hanya terbang menuju asal sebuah kebusukan.
*
Setiap kusisipkan nama di setiap rapalan mantra, aku sudah tak lagi peduli dengan siapa aku sedang senggama. Entah aku masih disebut manusia atau entah siapa bahkan apa.

Hanya saja yang akan bertanggung jawab atas kandungan ini siapa?

*Cerpen ini diikutsertakan pada Lomba Cerpen, Pusat Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Universitas Brawijaya, 2016*
Jika blog ini menjadi salah satu referensi Anda, jangan lupa menyertakan blog ini dalam daftar rujukan Anda untuk menghargai karya orang lain dan pastinya menghindari plagiarisme. Terima kasih.

CARA GRADING ATAU KATROL NILAI DENGAN SPREADSHEET ATAU EXEL

  Di atas adalah preview dokumen spreadsheet untuk grading atau katrol nilai dengan objektif. singkat saja, pasti yang cari sedang bingung k...