(Artikel Hari Buruh) MAY DAY: Jalan Panjang Kaum Buruh Indonesia (Sebuah Kajian Ngalor-ngidul)




Jangan serukan: “Bersatulah Buruh Sedunia!”



SEJARAH 1 MEI DI INDONESIA

Pengubahan tanggal hitam 1 Mei menjadi tanggal merah bukan perkara mudah dan singkat. Bolehlah sembari Anda menikmati hari libur, patutlah kita mengetahui perjalanan 1 Mei dalam kalender Indonesia. Berikut sejarah singkat mulai dari tahun 1966-disahkannya Hari Buruh Internasional menjadi Hari Libur Nasional.

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, May Day diidentikkan dengan ideologi komunisme yang saat itu sangat dilarang keberadaannya. Karena itu, penetapan hari buruh internasional pada 1 Mei pada masa Orde Baru sempat ditiadakan.

Langkah awal pemerintahan Soeharto untuk menghilangkan perayaan May Day dilakukan dengan mengganti nama Kementerian Perburuhan pada Kabinet Dwikora menjadi Departemen Tenaga Kerja. Presiden Soeharto menunjuk Awaloedin Djamin menjadi Menteri Tenaga Kerja pertama era Orde Baru. Ia dipilih karena latar belakangnya sebagai perwira polisi. Menurut Soeharto, Awaloedin merupakan sosok yang tepat untuk mengisi jabatan itu karena dinilai mampu menghadapi kaum buruh.

"Bulan Mei 1966, Awaludin mengusahakan agar 1 Mei 1966 tidak dirayakan lagi karena dianggap berkonotasi kiri. Namun usaha itu belum berhasil karena serikat buruh masih kuat. Baru sejak 1 Mei 1967, peringatan Hari Buruh dihapus," ucap Asvi Warman Adam, dalam kolom Opini Kompas, 8 Oktober 2003.

"Indonesia pernah memiliki serikat buruh yang berorientasi kelas, khususnya pada era Demokrasi Terpimpin melalui Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Ketika Orde Baru berkuasa, serikat buruh berorientasi kelas ini dibasmi secara brutal, yang melahirkan trauma sejarah panjang hingga sekarang," kata Surya Tjandra, dikutip dari kolom opini Kompas, 1 mei 2012.

Karena serikat buruh saat itu masih kuat maka Peringatan hari buruh Pada 1  Mei 1966  masih diadakan oleh Awaloedin setelah mendengar pertimbangan Soeharto.

“Kalau tidak ada peringatan, pasti terjadi geger yang enggak perlu. Saya putuskan, harus diperingati. Maka tanggal 1 Mei 1966, pemerintah Orde Baru ikut melakukan upacara tersebut. Tahun berikutnya langsung saya hapuskan. Kita cari Hari Buruh Nasional saja, tak perlu yang internasional, nanti malah harus nyanyi lagu Internasionale segala,” ucap Menteri Tenaga Kerja pertama rezim Soeharto, Komisaris Besar Polisi Awaloedin Djamin, seperti dilansir Kompas, 7 Mei 2006.

Peringatan diadakan cukup meriah dengan di isi acara pawai kendaraan melewati istana. Seusai peringatan 1 Mei itu, Awaloedin melemparkan gagasan bahwa tanggal itu tidak cocok untuk peringatan buruh nasional. Selain itu, peringatan May Day selama ini telah dimanfaatkan oleh SOBSI/PKI.


"Sementara itu, secara diam-diam saya mempersiapkan ketentuan pemerintah untuk mencabut tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh," demikian pengakuan Awaloedin Djamin yang kemudian juga pernah menjadi Kepala Polri itu, seperti dikutip dari tulisan Asvi Warman Adam dalam Kompas (Kolom Opini) 'Hari Buruh Seyogianya Libur Nasional', 1 mei 2004.

Perkembangannya kemudian, serikat buruh digiring untuk berorientasi ekonomis. Hal itu dimulai dengan penyatuan serikat buruh yang tersisa dari huru-hara 1965 ke dalam Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang kemudian menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).

"Penataan hari buruh nasional kemudian dilakukan oleh Menteri Tenaga Kerja pada era Soeharto sebagai peringatan empat tahun berdirinya Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FSBI) pada tahun 1973," Kompas, 20 Februari 1986.


FSBI adalah wadah bersatunya organisasi-organisasi buruh di seluruh Indonesia yang sebelumnya terpencar-pencar dalam berbagai organisasi. FSBI pada masa Orde Baru sangat dekat dengan pemerintah, bahkan terkesan sebagai birokrat, sehingga nasib buruh pun masih tidak banyak berubah. Bahkan, banyak pula dari kalangan buruh yang tidak tahu keberadaan organisasi ini. Selain itu, FSBI juga belum sepenuhnya independen karena masih didanai pemerintah. Pada 1986, muncul ide untuk menarik iuran sendiri dari para anggotanya.

Selama masa pemerintahan Orde Baru, buruh masih melakukan upaya pemogokan kerja, meski tak ada aksi unjuk rasa besar yang berarti seperti saat ini. Pada masa itu pula, tuntutan buruh akan upah layak, cuti haid, hingga upah lembur mulai digaungkan.

Komisi Upah yang saat itu dibentuk unutuk mengakomodasi kepentingan buruh juga mulai bersuara adanya proses penetapan upah yang tidak adil bagi buruh. Teten Masduki yang ketika itu menjadi juru bicara di Komisi Upah mengungkapkan bahwa buruh di Indonesia tak pernah diikut sertakan dalam menentukan upah yang seharusnya mereka terima.

Badan pengupahan yang ada, tidak pernah memihak pada kepentingan buruh karena serikat buruh resmi yang diakui pemerintah lemah dan dilemahkan.

"Pemerintah selama ini cenderung memperlakukan buruh sebagai bahan bakar untuk memacu industrialisasi dan mendorong ekspor, hingga untuk hal-hal yang menyentuh kebijakan mereka tak pernah diajak bicara," teten dalam Kompas, 13 Januari 1996.



ERA REFORMASI


Aksi unjuk rasa ribuah buruh dan mahasiswa kembali dilakukan pada 1 mei 2000. Ketika itu, para buruh menuntut agar 1 Mei kembali dijadikan hari buruh dan hari libur nasional. Unjuk rasa yang disertai dengan mogok kerja besar-besaran di sejumlah wilayah di Indonesia itu membuat gerah para pengusaha. Pasalnya, aksi mogok berlangsung hingga satu minggu.

PT Sony Indonesia mengancam akan hengkang ke Malaysia apabila para pekerjanya tidak kembali bekerja. Kemudian ancaman ini membuat khawatir pemerintah, karena jika PT Sony Indonesia saja berani hengkang maka perusahan elektonik lainnya diprediksi akan mengambil langkah serupa. Di sisi lain, buruh bersikeras meminta kepada pemerintah agar menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional. Sejumlah pegawai terancam diputus kontrak oleh perusahaan lantaran ikut dalam aksi ini.


"Pada tahun 2002, Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea mengatakan, 1 Mei tak akan dijadikan hari libur nasional. Pasalnya, Pemerintah telah menetapkan 15 hari libur nasional, sehingga terlalu berlebihan jika hari itu dijadikan hari libur," dikutip dari Kompas, 24 April 2002. Tidak ada perkembangan apapun soal tuntutan buruh agar 1 Mei dijadikan hari buruh dan hari libur nasional selama masa pemerintahan Gus Dur atau pun Megawati.

Memasuki masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), belum tampak tanda-tanda dikabulkannya tuntutan para buruh. Namun, pada masa ini tuntutan yang dilancarkan tidak lagi soal libur nasional, tetapi juga soal revisi UU Ketenagakerjaan hingga jaminan sosial yang kemudian membuahkan BPJS Kesehatan hingga BPJS Ketenegakerjaan.



Era SBY

Saat masih menjabat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengaku tidak sepakat dengan rencana buruh untuk melakukan aksi mogok nasional. Menurutnya, hal itu hanya akan merugikan perusahanan dan juga pekerja. Meskipun saat itu ia tak melarang adanya aksi, namun SBY meminta agar mogok nasional dan aksi demo besar-besaran dipikirkan kembali.

"Saya mendapat informasi, kalau benar, akan ada rencana mogok nasional oleh para pekerja. Unjuk rasa, protes itu hak. Mogok bisa terjadi dalam kehidupan demokrasi. Yang saya harapkan berpikirlah sekali lagi apakah mogok nasional itu membikin baik keadaan atau memperburuk keadaan," ujar Presiden dalam sambutan peresmian perluasan fasilitas produksi Grup Tempo di Cikarang, Jawa Barat, Selasa (18/4) seperti dikutip dari Kompas, 19 April 2006.

Selama memimpin, SBY punya kebiasaan melakukan lawatan ke luar kota atau pun keluar negeri di saat Jakarta dikepung demo besar-besaran pada 1 Mei.

Pada tahun 2006, satu pekan sebelum demo buruh, SBY memutuskan menyerahkan tugasnya sementara kepada Wapres JK karena dirinya melakukan lawatan ke negara-negara di Timur Tengah selama 10 hari. Pada tahun itu pula, Menkokesra Aburizal Bakrie menyatakan pemerintah tak akan menetapkan hari buruh sebagai hari libur nasional pada tahun ini atau pun tahun  2007 dengan alasan apa pun.

Sikap pemerintah tidak berubah hingga akhirnya pada tahun 2013 SBY resmi menandatangani Peraturan Presiden yang menetapkan bahwa 1 Mei sebagai hari libur nasional bersamaan dengan perayaan hari buruh yang doperingati seluruh penduduk dunia.

"Hari ini, saya tetapkan 1 Mei sebagai Hari Libur Nasional dan dituangkan dalam Peraturan Presiden," kicau Presiden melalui akun Twitter resminya, @SBYudhoyono, Senin (29 Juli 2013) malam.

(Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2016/05/01/08070931/Sejarah.Panjang.Hari.Buruh.Sedunia.dan.di.Indonesia?page=all)(tanpa suntingan)



AWAL PERJUANGAN BURUH DI INDONESIA

Perjalanan 1 Mei menjadi Hari Libur Nasional masih kalah panjang dengan perjalanan buruh sendiri dalam sejarah Indonesia. Permasalahan buruh sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan pergerakan Nasional (entah dapat disebut Nasional atau belum) pra merdeka lebih banyak diilhami oleh nasib kaum buruh. Perlu diingat, pergerakan ini diilhami oleh kesengsaraan nasib buruh masa itu. Gambar 2.1 merupakan potret masa itu (1910-an/ penulis).

Permasalahan-permasalahan yang ada (saat itu) juga memunculkan organisasi-organisasi yang memperjuangkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Salah satunya Sarekat Islam (SI) pada 1912 yang didirikan oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau yang dikenal di buku sejarah sebagai H.O.S Tjokroaminoto.


(Gambar 2.1 Di Bawah Lentera Merah - SHG)



Permasalahan buruh pada era sekarang memang sudah diatur sedemikian rupa demi keberlangsungan hidup para buruh. Tetapi, pada kenyataannya tidak semua tempat para buruh bekerja berlandaskan Undang-undang (UU) yang mengatur keberlangsungan hidup mereka.

“Dalam bidang perburuhan pun Pemerintah berpihak kepada kaum majikan.”- SHG (Lentera Merah: 21). Untuk menuntut hak-hak mereka, kaum buruh melakukan pemogokan.


Pemogokan kerja menjadi pilihan terakhir ketika kaum buruh tidak mendapatkan hak mereka untuk didengar. Tidak mudah melakukan pemogokan pada masa itu. Dengan latar belakang seadanya dan keterbatasan daya, pada akhirnya kaum buruh berani melakukan pemogokan. Dan pemogokan-pemogokan kaum buruh di Indonesia dipengaruhi oleh revolusi Rusia tahun 1917 (Gambar 2.2). Peristiwa Rusia itu kemudian dituliskan melalui sebuah artikel yang kemudian menginspirasi kaum buruh di Indonesia waktu itu.



(Gambar 2.2 Di Bawah Lentera Merah - SHG)


Setelah melakukan pemogokan, seperti biasa, Pemerintah saat itu menjanjikan kesejahteraan dan pengabulan atas permintaan kaum buruh.

Jalan keluar bagi kaum buruh pada masa itu sampai sekarang pada dasarnya masih sama, yaitu pendidikan. Tulisan ini (Gambar 2.3) seperti tulisan yang menembus mesin waktu atau memang PR yang tak kunjung selesai.

 



(Gambar 2.3 Di Bawah Lentera Merah - SHG)



            Jika kata pemerintah saat itu mengatakan kepada kaum buruh untuk bersabar, bisa dikatakan dan dipastikan bahwa kaum buruh Indonesia terlampau sabar. Pasalnya, hingga sekarang memang persoalan kesenjangan kesejahteraan yang dihadapi kaum buruh belum selesai. Sejak itu, para kaum cendekia mulai memikirkan bahwa pendidikan menjadi solusi atas nasib kaum buruh. Organisasi-organisasi mulai dibentuk untuk memperjuangkan nasib kaum buruh.



PERJUANGAN BURUH ERA KINI DI INDONESIA

Tidak sedikit orang berkecenderungan skeptis bahwa tulisan dapat menghasut hingga memecah belah persatuan. Tetapi apakah mereka sadar bahwa kesenjangan sosial, kesenjangan ekonomi, kesenjangan kemapanan, yang itu berarti kesenjangan kesejahteraan yang paling berpotensi memecahbelah persatuan?

Apakah mereka, buruh, sudah sejahtera? Tentu akan beragam jawaban atas pertanyaan itu. Melalui tulisan ini aku tidak akan menyerukan, “Bersatulah Buruh se-dunia!” bisa-bisa aku diciduk pihak berwajib karena dianggap memiliki haluan lain dalam menjaga persatuan Bangsa.

Organisasi-organisasi yang memperjuangkan kaum buruh mengalami tantangan-tantangan. Mulai dari organisasi itu sendiri hingga dari luar organisasi. Seperti yang tertulis di sejarah 1 Mei di Indonesia pasca 1966. Organisasi buruh dipandang sebagai organisasi berhaluan lain di Indonesia, akibatnya pembubaran Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) —terkait dengan pemberontakan Madiun— sampai dihapuskannya Hari Buruh Internasional di kalender Nasional era Demokrasi Terpimpin kala itu.

Bagaimana dengan pasca reformasi? Ya, Hari Buruh Internasional ditetapkan sebagai Hari Libur Nasional menjadi penghibur bagi mereka kaum buruh. Tetapi, hiburan itu menjadi hiburan kecil bagi mereka. Di saat masyarakat lain piknik dengan keluarga tercinta dan menikmati long weekend, kaum buruh tetap memperjuangkan nasib mereka di hadapan pemerintah.

Seperti yang diberitakan,

KSPI menegaskan dalam peringatan mayday besok ada sekitar 500.000 buruh yang akan aksi turun ke jalan. "Sebanyak setengah juta buruh pada tanggal 1 Mei nanti akan mengadakan aksi yang terbagi di 32 provinsi di Indonesia," pungkas Ketua KSPI, Iqbal Said dalam jumpa pers di Hotel Mega Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat pada Jumat (28/4).

(Sumber: https://www.merdeka.com/peristiwa/may-day-500-ribu-buruh-akan-demo-serentak-di-seluruh-indonesia.html)

Masih dari sumber yang sama, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) tahun ini menuntut beberapa hal,

Dalam HOSJATUM tersebut, KSPI menuntut agar pemerintah menghapus sistem outsourcing dan pemagangan. Sebab sistem tersebut hanya menaikkan angka pengangguran di Indonesia.

Iqbal menambahkan agar pemerintah memberikan jaminan sosial dan yang terakhir adalah mencabut PP 78 Tahun 2015, menolak upah murah terhadap buruh.

Beralih ke organisasi lain,

Menyambut peringatan hari buruh "MayDay" pada hari Senin 1 Mei 2017, ratusan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU) melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung Kementerian BUMN, Jakarta Pusat, Kamis (27/4/2017)

(Sumber: http://www.tribunnews.com/metropolitan/2017/04/28/demo-sambut-mayday)

Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU) menuntut dicabutnya PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan serta menolak revisi UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dinilai mengebiri hak-hak buruh serta menolak privatisasi aset negara.

Di atas merupakan dua dari sekian perjuangan buruh yang disuarakan melalui sekian organisasi buruh (ABM - Aliansi Buruh Menggugat, ASPEK Indonesia - Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, FPBJ - Federasi Perjuangan Buruh Jabodetabek, SPSI - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, SPN - Serikat Pekerja Nasional, FSBI - Federasi Serikat Buruh Independen, GASBIINDO - Gabungan Serikat-serikat Buruh Islam Indonesia, KASBI - Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia, FSPMI - Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia, FSP KEP - Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi Pertambangan dan Umum, dll). (Sumber: https://www.kaskus.co.id/thread/5361e471108b468e498b45cd/daftar-organisasi-buruh-indonesia/)

Pasca reformasi, pemerintah secara perlahan mengatur UU tentang ketenagakerjaan. Peraturan itu juga mengatur Organisasi Serikat Pekerja (dll). Seperti pasal 102 UU Tenaga Kerja tahun 2003, “dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja dan serikat pekerja mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.”

Lalu Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak :


  1. Melakukan perundingan Perjanjian Kerja Bersama dengan pihak manajemen.
  2. Mewakili pekerja dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial di dewan dan lembaga perburuhan.
  3. Membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh.
  4. Mengadakan kegiatan perburuhan selama tidak bertentangan dengan ketentuan hukum perundang-undangan yang berlaku.

Dilihat dari hak yang dituntut kaum buruh, sebenarnya masih berputar pada persoalan yang sama, kesejahteraan. Sekarang pemerintah mengatur sistem kontrak kerja. Dengan menggunakan sistem kontrak, dalam arti buruh mendapat kontrak kerja maksimal dua tahun pada kaum majikan, jika kaum majikan ingin menggunakan jasa mereka, maka kaum majikan wajib mengangkat buruh menjadi pegawai tetap.

Dapat dibayangkan bahwa setiap buruh akan putar otak selepas setahun atau dua tahun bekerja. Kontrak selesai, mereka mencari pekerjaan lagi, dan tentunya menjadi buruh juga. Bagi kaum buruh muda, mereka memanfatkan masa kerja untuk menikah. Jika kontrak selesai? Bisa dipastikan mereka akan mencari pekerjaan lain lagi.

Mereka yang turun ke jalan menyerukan hak mereka, bukan menyerukan ideologi. Mereka yang turun ke jalan, yang tergabung dalam serikat pekerja/serikat buruh, memperjuangkan kesejahteraan, bukan kepentingan lain seperti era 1960-an. Kaum majikan terlampau mapan untuk digulingkan dan kerumitan persoalan nasib sudah menyibukkan kaum buruh sendiri. Mereka hanya memperjuangkan dapur mereka agar tetap mengebul.



JALAN KELUAR

Kurang relevan jika harus menyerukan kepada kaum buruh. Pada era sekarang lebih cocok menyerukan pada generasi muda untuk bersatu. Bersama-sama membangun kekuatan untuk mempersiapkan diri pada era yang akan lebih rumit.

Kolonialisme, imperalisme, kapitalisme sudah memiliki kemasan yang berbeda. Penindasan juga sudah sangat berbeda. Jika penindasan dulu dengan kekerasan dan kesengsaraan, maka bisa dikatakan penindasan kali ini justru menghibur dan menyenangkan. Belum lagi—seperti tulisan sebelum ini yang saya kritisi— media era sekarang.

Para buruh mungkin akan selalu ada sebagai segmen yang berhubungan dengan kesenjangan kesejahteraan, tetapi pertanyaannya,  “Apakah generasi muda adalah segmen baru yang dijajah dengan sesuatu yang menghibur dan menyenangkan?” Semoga saja tidak.

Untuk mengakhiri kajian ngalor-ngidul kali ini, perkenankanlah sebentar,

“Untuk para buruh, nikmatilah hidup Kalian bagi yang bisa menikmati. Bagi yang belum, paling tidak persiapkan anak Kalian. Atau bagi buruh yang belum punya anak, mulailah putar otak.”

“Harus disadari bahwa kelas sosial ini (majikan dan buruh) sudah ada atau sengaja dibentuk jauh sebelum 1 Mei menjadi Hari Libur Nasional. Bagi Kalian yang berencana menjadi buruh, berpikirlah lebih jeli lagi. Jika Kalian mencari majikan (perusahaan, pabrik, pertambangan, pertanian, dst) yang menjamin kesejahteraan Kalian, perhatikan daya (kemampuan) Kalian atas keinginan itu. Jika tidak yakin, maka asah kemampuan hingga kesejahteraan datang dengan sendirinya.”

Sudah bukan zamannya buruh dikaitkan dengan pergerakan haluan lain, sekarang  zamannya buruh diperhatikan. Memang tidak bisa menghapuskan kelas majikan dan buruh, menjaminnya dengan Undang-undang pun juga belum cukup. Namun, pilihan paling bijak untuk itu semua adalah mempersiapkan kaum buruh Indonesia menjadi buruh yang dibutuhkan kaum majikan. Dengan itu kaum buruh akan memiliki peran atas kesejahteraannya sendiri.

Namun, menjadikan pendidikan sebagai jalan keluar tampaknya sama saja menghadapkan persoalan kepada persoalan baru. Tampaknya Buruh dan Pendidikan memang sudah menjadi dua hal yang berkaitan, Hari Buruh diperingati pada 1 Mei dan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei. Saya tidak bisa menjawab atas itu. Yang pasti, perjuangan buruh tidak serta merta perjuangan kaum buruh sendiri. Dari semua hal yang berusaha dipaparkan, paling tidak sudah diketahui bersama bahwa ada jalan keluar persoalan kesenjangan kesejahteraan kaum buruh. Jalan keluar yang sebenarnya sudah ditemukan jauh sebelum Indonesia merdeka.





Jayus

2017



Jika blog ini menjadi salah satu referensi Anda, jangan lupa menyertakan blog ini dalam daftar rujukan Anda untuk menghargai karya orang lain dan pastinya menghindari plagiarisme. Terima kasih.

CARA GRADING ATAU KATROL NILAI DENGAN SPREADSHEET ATAU EXEL

  Di atas adalah preview dokumen spreadsheet untuk grading atau katrol nilai dengan objektif. singkat saja, pasti yang cari sedang bingung k...