EKRANISASI NOVEL DAN FILM DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH


EKRANISASI NOVEL DAN FILM DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH
Oleh : Wildan Taufiqur Rohman

Ekranisasi, istilah ini berasal dari bahasa Prancis, écran, yang berarti layar. Eneste kemudian memberi definisi pada istilah ini sebagai pelayar-putihan, pemindahan/ pengangkatan sebuah  novel (karya sastra)  ke dalam film. Di barat sendiri sebenarnya teori ini telah berkembang lama.
Teori adaptasi, seperti diungkapkan Linda Hutcheon, bisa disebut payung teori yang lebih luas. Sapardi Djoko Damono membuat istilah ‘alih wahana’. Dilihat dari cakupan materinya, alih wahana memang lebih luas dibandingkan ekranisasi. Alih wahana mencakup pengalihan karya seni dari satu wahana ke wahana lain. Demikian pula tentunya dengan yang diungkapkan Hutcheon.
Ekranisasi, bagaimanapun, bisa menjadi bagian kajian menarik dalam sastra. Hal ini mengingat dewasa ini semakin banyaknya film yang diangkat dari novel, seperti yang telah terjadi lebih dulu di barat.

Dalam kesempatan kali ini, saya ingin menjabarkan perbedaan antara novel dengan film “Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Cerita sebenarnya dalam novel karya HAMKA ( Haji Abdul Malik Karim Abdullah ),  dengan film yang di-director-i Hanny R Saputra dan producer Manoj Punjabi. Saya akan menjabarkan  tiap bagian, mulai dari awal sampai akhir yang saya rasa terdapat perbedaan antara novel dengan filmnya. Perbedaan ini juga dapat disebabkan gambaran yang ditangkap Hanny R Saputra setelah membaca novelnya.

Cerita ini pada intinya mengisahkan dua anak manusia yang saling jatuh cinta, namun tak dapat bersatu  karena perbedaan status sosial dan tidak yakinnya perasaan cinta mereka sendiri. Perbedaan film dengan novel aslinya terdapat pada penggambaran bagaimana usaha mereka tuk bersatu. HAMKA dapat menggambarkan lewat cerita ini bahwa cinta itu indah, tapi dikemas sedemikian rupa dengan nuansa religius. Serta menunjukkan bagaimana setiap orang berjuang untuk menjalani hidup sesuai dengan apa yang kita yakini sebagai tujuan hidupnya.

Tokoh
Hamid   : Seorang pemuda Padang, umurnya berkisar19-20 tahun yang taat agama dan patuh dengan orang tua. Bersahaja, sopan tutur kata serta kelakuannya.

Zainab   : Seorang perempuan Padang yang taat agama. Dia berasal dari keluarga cukup berada, sangat menyayangi ibu dan keluarganya.

Saleh      : Seorang pemuda ramah, baik hati yang sudah menjadi sahabat Hamid sejak kecil.

Engku Haji Ja’far : Seorang kepala keluarga yang baik hati, tak banyak bicara, dan tentu saja bersahaja.
Mak Aisah            : Seorang perempuan tabah,sayang kepada anak dan suami.

Perbedaan antara novel dan film akan saya jebarkan mulai dari awal cerita, ingatlah kita perbedaan itu terjadi karena beberapa faktor. Nanti, di akhir akan saya jelaskan pendapat saya mengapa hal tersebut terjadi.Perbedaan dapat digolongkan menjadi tiga, yang pertama adalah penciutan, penambahan, dan yang terakhir adalah perubahan bervariasi.

Penciutan
Untuk melayar putihkan novel kita tidak mungkin semua hal yang terjadi dalam novel diceritakan dalam film, maka dari itu terjadi pemotongan kejadian-kejadian. Sutradara pastinya sudah menangkap hal-hal yang penting dalam  novel dan akan difilmkan.
Terdapat beberapa keadaan yang tak digambarkan dalam film, seperti bagaimana menjelaskan kematian Ayah Hamid.Dalam novel diceritakan seperti ini,
“ANAK YANG KEMATIAN AYAH, masa saya masih berusia empat tahun, ayah saya telah meninggal, ia telah meninggalkan saya sebelum saya kenal siapa dia dan betapa rupanya, hanya di dinding masih saya dapati gambarnya, gambar semasa ia masih muda, gagah..”(dalam novel)
Dalam film tak digambarkan Hamid bercerita tentang kematian ayahnya, hanya dijelaskan lewat ucapan Hamid dalam suatu kejadian di film.
Kemudian dalam novel diceritakan bahwa Hamid sangat dekat dengan keluarga Engku Ja’far dan mereka sempat pergi bersama-sama.
“Hari Minggu kami diizinkan pergi ke tepi laut. Ke muara atau ke tepi Batang Arau, melihat perahu pengail yang sedang di lambung-lambungkan gelombang di tengah lautan yang luas, kain layarnya dipuput oleh angin yang menghantarkannya ke tengah, akan mencari rezekinya. Negeri Pariaman hijau nampaknya dari jauh, ombak memecah dan menderum tiada berhenti memukul pasir tepi itu. Di sana kami berlari-larian mengejar ambai-ambai yang segak dan lekas lari...”(dalam novel)
Tetapi dalam filmnya tak pernah diperlihatkan mereka pergi bersama ke pantai bersama ternyata penciutan juga terjadi dalam menceritakan awal Hamid bertemu Mak Aisah dan Zainab.
“Tiap-tiap pagi saya lalu di hadapan rumah itu menjunjung nyiru berisi goring pisang, mata saya sentiasa memandang ke jendela-jendelanya yang berlangsir kain sutera kuning, hendak melihat keindahan perhiasan rumahnya. Fikiran saya menjalar, memikirkan kesenangan hati orang yang tinggal dalam rumah itu, cukup apa yang dimakannya dan diminumnya; airliur saya meleleh bila saya ingat, bahawa kami di rumah kadang-kadang makan, kadang-kadang tidak. Setelah saya meninggalkan halaman rumah itu, maka dengan suara yang merawankan hati saya panggilkan jualan saya; "Beli goreng pisang! Masih panas!"
Lama kelamaan tertariklah perempuan yang setengah tua itu hendak memanggil jualan saya, demikian juga anaknya. Pernah kedengaran oleh saya ia berkata: " Panggillah Nab kesian juga saya!"
 Perempuan itu suka memakan sirih, mukanya jernih, peramah dan penyayang. Pak Leman yang telah menjadi jongos untuk memelihara perkarangan itu, belum pernah dapat suara keras daripadanya. Anak perempuannya itu masih kecil, sama dengan saya. Apa perintah ibunya diikuti dengan patuh, rupanya ia amat disayangi kerana anaknya hanya seorang itu.
Sudah dua tiga kali saya datang ke rumah indah dan bagus itu; setiap kali saya datang bertambah sukanya melihat kelakuan saya dan belas kasihan akan nasib saya. Pada suatu hari perempuan itu bertanya kepada saya; " Di mana engkau tinggal anak, dan siapa ayah bondamu?"(dalam novel)
Dalam film tak pernah diceritakan bagaimana mereka bertemu, hanya dijelaskan melalui ucapan tokoh.

Penambahan
Seperti yang saya katakan tadi di awal, bahwa sutradara sebelumnya telah memilih hal-hal yang penting dalam novel, sehingga ada kemungkinan penambahan pada alur, tokoh, latar atupun suasana. Saya menemukan penambahan itu dalam film ini, ini yang dapat saya temukan,

Kemudian kisah cinta mereka mulai mendapat ujian. Jika kita dapat temukan, dalam novel ujian itu dimulai ketka Engku Ja’far meninggal dunia, mulai disinilah cinta mereka di uji.
“SEPERUNTUNGAN Setelah beberapa lama kemudian, dengan tidak disangka-sangka satu musibah besar telah menimpa kami berturut-turut. Pertama ialah kematian sekonyong-konyong dari Engku Haji Jaafar yang dermawan. Ia seorang yang sangat dicintai oleh penduduk negeri, kerana ketinggian budinya dan kepandaiannya dalam pergaulan; tidak ada satu pun perbuatan umum di sana yang tak dicampuri oleh Engku Haji Jaafar. Kematiannya membawa perubahan yang bukan sedikit kepada perhubungan kami dan rumahtangga Zainab. Dia yang telah membuka pintu yang luas kepada saya memasuki rumahnya di zaman hidupnya, sekarang pintu itu mahu tak mahu telah tertutup. Sebagai seorang lain, Pertemuan kami tidak berleluasa seperti dulu lagi. Ah…. zaman semasa anak-anak, dia telah pergi dari kalangan kami dan tak akan kembali lagi…”(dalam novel)
nah, sekarang akan saya tunjukkan perbedaan hal yang menguji cinta mereka. Dalam film ujian itu bermula diusirnya Hamid yang di asingkan dari kampong karena telah memberikan nafas buatan kepada Zainab yang tak sadarkan diri setelah tercebur ke dalam sungai. Saat itu Zainab ingin melihat lomba, bisa dikatakan seperti itu,  yang pada saat itu Hamid menjadi salah satu peserta. Karena tergesa-gesa Zainab yang belum bisa menguasai sepedanya itu langsung saja tercebur kedalam kolam.
Beberapa gambar yang dapat saya jadikan bukti bahwa kejadian itu ada di film namun dalam novel tidak ada.

Perubahan Bervariasi
Karena novel mengalami oenciutan dan penambahan, maka memungkinkannya terjadi perubahan bervariasi agar secara garis besar cerita tidak merubah  inti dari cerita dalam novel. Beberapa hal yang saya golongkan dalam perubahan bervariasi sebagai berikut,
Awal cerita,
“ MEKKAH PADA TAHUN 1927, harga getah di Jambi, di seluruh tanahair sedang naik, negeri Mekah baharu sahaja pindah dari tangan Shariff Hussin ke tangan Ibn Sa'ud, Raja Hijaz dan Najad dan daerah takluknya yang kemudian ditukarkan namanya menjadi kerajaan "Arabiah Sa'udiah". Setahun sebelum itu telah naik haji dua orang yang kenamaan dari negeri kita. Keamanan negeri Hijaz, telah tersiar. Kerana itu banyak orang yang berniat menyempurnakan Islam yang kelima itu. Tiap-tiap kapal haji yang berangkat menuju Jeddah penuh...”(dalam novel)
 Dalam novel menceritakan apa yang terjadi di Mekkah pada saat itu, namun dalam film awal cerita digambarkam dengan kereta api yang mengangkut penumpang dan salah satu penumpang itu adalah Hamid yang telah lulus sekolah. Saat itu Hamid sedang memandangi foto seorang gadis, yaitu Zainab yang memakai kerudung putih.

Terdapat perbedaan cara menggambarkan perasaan Hamid terhadap Zainab antara dalam novel dengan film,
“Demikian lah pelajaran itu telah saya tuntut dengan bersungguh hati, tetapi…. Semenjak mula saya pindah ke Padang Panjang, sentiasa saya merasa keseorangan. Kian lama saya tinggal dalam negeri dingin itu, kian terasa oleh saya bahawa saya sebagai seorang yang terpencil. Keindahan alam yang ada di sekeliling kota dingin itu menghidupkan kenang-kenangan saya kepada hal-hal yang telah lalu. Gunung Merapi dengan kemuncak tandikat waktu matahari akan terbenam dan mempertaruhkan jabatan memberi cahaya kepada bulan, singlang yang sentiasa diliputi dengan kebun-kebun tebunya yang beriak-riak ditiup angin, semuanya membangkitkan perasaan-perasaan yang ganjil, yang sangat mengganggu fikiran saya.”(dalam novel)
Mulai disinlah awal dari perasaan yang ganjil dari Hamid kepada Zainab. Dan dalam film yang tidak ada dalam novel sangat banyak sekali. Sepertinya sutradara menggambarkan perasaan antara Hamid dan Zainab dengan beberapa cara. Saya akan menjabarkan beberapa perbedaan film dengan novel yang telah saya temukan.

Jika dalam  novel diceritakan seperti ini,
“Apabila sekolah saya tutup, segala segala cita-cita yang telah saya reka selama belajar, dan telah saya susun di jalan antara Padang Panjang dengan Padang semuanya dapat saya jalankan; ibu saya menitik airmata kerana kegirangannya, Engku Haji Jaafar tersenyum mendengar saya mengucapkan terima kasih. Mak Asiah memuji-muji saya sebagai seorang anak yang berbudi, Cuma ketika berhadapan dengan Zainab dalam rumahnya, mulut saya tertutup, saya menjadi seorang yang bodoh atau pengecut. " Bila abang pulang?" Katanya. " Pukul sepuluh pagi tadi." Jawab saya. " Apa khabar?Baik?" " Alhamdulillah………." Setelah itu saya menjadi bingung, tidak tentu lagi apa yang akan saya terangkan kepadanya. Segala rancangan saya terhadap dirinya yang saya reka-rekakan tadi, semuanya hilang. Ia melihat tenang-tenang kepada saya, seakan ada pembicaraan saya yang ditunggunya, tetapi kian lama saya kian gugup, sehingga sudah lalu hampir lima belas minit, tidak ada diantara kami yang bercakap. "Mudah-mudahan kelak selamatlah, dan kerapkali datang kemari kalau masih di rumah"- katanya..”(dalam novel)
kita dapat lihat perbedaan gambaran dari film yang kita lihat, sangat berbeda sekali.
Dan bukti bahwa Hamid masih ragu dengan apa yang dia rasakan, dapat dilihat dari kutipan dalam novel berikut ini,
“Mustahil ia akan dapat menerima cinta saya, kerana dia langit dan saya bumi, bangsanya tinggi dan saya daripada kasih sayang ayahnya. Bila saya tilik diri saya, tidak ada padanya tempat buat lekat hati Zainab. Jika kelak datang waktunya orang tuanya bermenantu, mustahil pula saya akan temasuk golongan orang yang terpilih untuk menjadi menantu Engku Haji Jaafar, kerana tidak ada yang akan dapat diharapkan…”(dalam novel)
Beberapa hal yang mengalami perubahan variasi terdapat pada alasan Hamid pergi dari Padang, itu bermula dari kejadian nafas buatan yang diberikan Hamid pada Zainab.

Sesampai di tepian sungai, Zainab diangkat orang-orang dan mereka berusaha untuk membangunkan zainab, naming Zainab tak kunjung sadar, Hamid merasa cemas langsung meraih tubuh Zainab dan memberikan nafas buatan. Setelah beberapa saat Zainab sadar, padahal dalam masa itu, memegang tubuh bahkan ‘mencium”(tak secara langsung karena Hamid hanya berniat untuk memberikan nafas buatan) adalah yang sangat dilarang.
Saat itu juga semua orang langsung menganggap bahwa Hamid buka pemuda yang baik-baik dan para “orang tua” berembug untuk menanggapi apa yang dilakukan Hamid kepada Zainab. Dan pada esok petangnnya, para “orang tua’ memanggil Hamid untuk ditanyai pertanggung jawaban atas perbgai orang lain lagi, almarhum telah memasukkan engkau ke dalam golongan kami, walaupun beragih tetapi tak bercerai. Maka di atas namanya hari ini, di atas nama Haji Jaafar mak meminta tolong melembutkan hati adikmu."
" Oh itu namanya perintah, saya kabulkan permintaan mak."(dalam novel)
Kemudian Hamid berusaha untuk membujuk Zainab, namun Zainab hanya diam  saja. Setelah kejadian itu, Hamid berpikir lebih baik pergi meninggalkan Zainab.
“Memang, mula-mula hati itu mesti bergoncang; bukahkan loceng-loceng dirumah juga berbunyi keras dan berdengung jika kena pukul? Tetapi akhirnya, dari sedikit ke sedikit, dengung itu akan berhenti juga. Cuma saja saya mesti berikhtiar, supaya luka-luka yang hebat itu jangan mendalam kembali, saya mesti berusaha, supaya ia beransur-ansur sembuh. Untuk itu saya mesti berusaha, saya mesti meninggalkan Kota Padang, terpaksa tak melihat wajah Zainab lagi, saya berjalan jauh.
Setelah saya siapkan segala yang perlu dan rumahtangga saya pertaruhkan kepada salah seorang sahabat handai yang setia, dengan tak seorang pun yang mengetahui, saya berangkat meninggalkan Kota Padang, kota yang permai dan yang sangat saya cintai itu, dengan menekankan dan membunuh segala perasaan yang sentiasa mengharu hati, saya tumpangi kereta yang berangkat ke Siantar. Di kiri kanan saya banyak penumpang lain yang akan menuju ke kota Medan, setelah saya sampai ke Medan, saya buat surat kepada Zainab, sesudah hati saya, saya beranikan; itulah surat saya yang pertama kali kepadanya. Jika kelak ternyata dia tak cinta kepada saya, syukur, sebab saya tak melihat mukanya yang kesal membaca surat. Tetapi kalau ia nyata ada mempunyai perasaan sebagi yang saya rasai dan surat itu diterimanya dengan sepertinya, tentu sekurang-kurangnya saya akan menerima belas kasihannya, sebagai seorang melarat yang diarak oleh untung nasib saya…”(dalam novel)
Hamid pin pergi meninggalkan Kota Padang dan Zainab. Yamg berbeda adalah hal yang terjadi setelah Hamid pergi. Saya akan menunjukkan perbedaan itu. Dalam film, sebelum hamid pergi meninggalkan Padang, dia berpamitan kepada Mak Aisah. Namun tak sempat berpamitan dengan Zainab. Tetapi sesaat Hamid pergi, Zainab keluar kamar, mengetahui jika Hamid berniat meninggalkan Padang, dia pun lekas-lekas ingin bertemu Hamid.



Jika blog ini menjadi salah satu referensi Anda, jangan lupa menyertakan blog ini dalam daftar rujukan Anda untuk menghargai karya orang lain dan pastinya menghindari plagiarisme. Terima kasih.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah mengunjungi blog ini dan memberikan komentar.

CARA GRADING ATAU KATROL NILAI DENGAN SPREADSHEET ATAU EXEL

  Di atas adalah preview dokumen spreadsheet untuk grading atau katrol nilai dengan objektif. singkat saja, pasti yang cari sedang bingung k...