“Dan apa yang kudapatkan dari sana amat memukul
sanubariku: seuntai tasbih dan seuntai Quran kecil. Kedua benda itu, bahkan
dalam suasana dekat mayat pemiliknya, rasanya tak berhenti memancarkan
kekudusan. Dan mayat pemiliknya, tak peduli ia seorang militer Republik
tergeletak di depan mataku karena peluru yang kutembakkan,” hl. 12
Saya tak sabar segera
melampiaskan uneg-uneg setelah
menyelesaikan novel Lingkar Tanah Lingkar Air (LTLA) karya Ahmad Tohari ini, —memang
ku akui sangatlah dibilang terlambat.
Baik, begini, sampai saat
ini, LTLA menjadi novel “terdekat perihal keyakinan, khususnya Ketuhanan” di antara
novel-novel karya Ahmad Tohari. Penghadapan keyakinan dengan kenyataan ditempa
habis-habisan. Dari kalimat pertama hingga tamat. Pikiran tokoh, dialog tokoh,
deskripsi keadaan, dialog tokoh lain dibabat habis. Bisa dibilang, pembaca
dituntut turut serta menentukan pilihan di tengah kenikmatan membaca.
Dan lagi, jangan berharap
juga Kalian akan menikmati novel ini dengan satu alur maju membalik lembar demi
lembar. Sangat bisa dimaklumi jika Kalian berkali-kali kembali mencari benang merah
alur yang disusun Ahmad Tohari dalam novel ini.
Alur pembentuk novel ini
dibilang kompleks, yang jelas maju-mundur. Tetapi, Ahmad Tohari tidak
memberikan formula maju-mundurnya yang klise. Bahkan, penanda bahwa itu
hanyalah lamunan “Aku” baru disadari pembaca setelah menghabiskan beberapa
lembar potongan cerita, berhenti, lalu mencari lagi awal mula lamunan itu dan “meluruskan
kembali” garis waktu yang sebenarnya.
Kembali lagi, LTLA sangatlah
padat terhadap penghadapan-penghadapan prinsip dengan kenyataan, perihal Tuhan.
Berikut potongannya:
“Sejak zaman dulu para ulama hidup damai dengan para
santri, dan juga damai di tengah orang-orang abangan. Para ulama dulu bahkan
pernah membuat garis pemisah antara keduanya. Memang istilah santri dan abangan
bahkan juga wong dul-dulan, sudah lama ada. Namun dalam kehidupan sehari-hari
mereka hidup dalam kebersamaan yang tak dapat diragukan.” – hl. 41
“Sembahyang adalah kewajiban yang datang dari Tuhan
untuk setiap pribadi yang percaya. Ya. Kewajiban sembahyang tidak datang dari
seseorang untuk orang lainnya. Maka secara pribadi aku tak berani mewajibkan
apa-apa kepada orang lain karena aku juga tak mungkin memberinya pahala, tak
pula berhak menghukumnya.” –hl. 42
Dua potongan di atas
disampaikan tokoh Kiai Ngumar. Begitu berat tetapi tetap ringan bahasanya. Ora muluk-muluk. Dan bukan nihil alasan itu
ditulis. Mengapa? Sangatlah jelas jika berdasar pada kutipan berikut,
Karya
sastra bersumber dari kenyataan hidup yang terdapat di dalam masyarakat. Akan tetapi
karya sastra bukanlah hanya mengungkapkan kenyataan-kenyataan objektif itu saja, melainkan juga menampilkan
pandangan, tafsiran, dan nilai-nilai kehidupan berdasarkan
dayakreasi dan imajinasi pengarangnya, yang kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan. Sastra
merupakan wujud gagasan seseorang melalui
pandangan
terhadap lingkungan sosial yang berada di sekelilingnya dengan menggunakan bahasa yang indah.
Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro, 2013:3)
Melalui tokoh dan deskripsi,
yang ku ibaratkan pion-pionnya, pengarang menyampaikan hasil aktualisasi diri
terhadap lingkungan sosialnya. Hebatnya adalah, keadaan sosial yang membuat
Ahmad Tohari menyampaikan uneg-uneg-nya
masih tidak jauh berbeda dengan sekarang. Ya, saya berani berbicara bahwa
sastra itu timeless, relevan lebih
tepatnya.
Di masa sekarang, menyampaikan pandangan, tafsiran, dan nilai-nilai kehidupan lebih sering disampaikan dengan menggebu-gebu, layaknya orasi di tengah demonstrasi. Yang menurut saya itu mulai digemari banyak orang. Dan, rasanya Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari adalah wujud orasi beliau tentang kerukunan dan toleransi, bahkan lebih dari itu.
Melalui tulisan ini sudah
tidaklah mungkin bisa mewakili aktualisasi Ahmad Tohari terhadap lingkungan
sosialnya —termasuk kita. Apa yang diresahkan sekarang, sepertinya bisa sangat
mungkin ditemukan titik terang pandangan, tafsiran yang sekiranya perlu “digali”
lebih dalam lagi.
Malang,
1 April 2019
Rujukan:
ERMA DESY ISMAIL, MOTIVASI DIRI MENYONGSONG MASA
DEPAN: KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA DALAM NOVEL INSYA ALLAHAKU BISA SEKOLAH KARYA
DUL ABDUL RAHMAN DAN IMPLEMENTASINYA SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN BAHASA
INDONESIA DI SMA NEGERI 2 SUKOHARJO, (http://eprints.ums.ac.id/68068/11/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf),
diakses pada 30 April 2019.
Jika blog ini menjadi salah satu referensi Anda, jangan lupa menyertakan blog ini dalam daftar rujukan Anda untuk menghargai karya orang lain dan pastinya menghindari plagiarisme. Terima kasih.