Karya Sutardji Calzoum Bachri
|
|
O
dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal
maugapai
siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau
siakalaian siasiasia
waswasku waswaskau waswaskalian
waswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian
duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O
. . . .
1.
Struktur Global
Puisi di atas adalah puisi kontemporer, istilah kontemporer ini
menunjuk pada waktu bukan pada puisi tersebut, sebab pada masa kontemporer ini
banyak model puisi yang konvensional. Kecenderungan puisi kontemporer
menampilkan struktur tematik dan struktur sintaktik yang berbeda dengan
puisi-puisi sebelumnya.
Puisi di atas terdiri dari
delapan larik dan itu semua mengungkapkan tema Ketuhanan. Ketuhanan dapat kita
tangkap lewat penggunaan bahasanya. Kata-kata yang sering diulang atau repetisi
membantu menciptakan suasanakegelisahan dan konflik batin dalam pencarian Tuhan
itu. Hal ini dapat diketahui jika teliti dari larik demi larik berikut :
a. Larik
pertama : dukaku dukakau dukarisau
dukakalian dukangiau
Pada larik pertama, terdapat
kata duka sebanyak lima kata, itu mengartikan bahwa pengarang benar-benar
merasa duka. Intensitas kata yang muncul menandakan pengarang ingin memberikan
tekanan pada kata itu.
b. Larik kedua : resahku resahkau resahrisau resahbalau
resahkalian
Larik
kedua, terdapat kata “resah” sebanyak lima kata, tak jauh berbeda pada larik
pertama, pengarang menekankan kata “resah”, itu berarti pengarang merasakan
resah pada “aku”, “kau”, “kalian” yang terlalu. Permainan kata juga terdapat
pada larik kedua, yaitu “resahrisau” dan “resahbalau”.
c. Larik ketiga : raguku ragukau
raguguru ragutahu ragukalian
Larik ketiga, terdapat kata
“ragu” sebanyak lima kata, tak jauh berbeda dengan larik pertama dan kedua.
Pengulangan kata menandakan penekanan, “ragu” dirasakan oleh “aku” “kau”
“guru”, dan “kalian”. “Ragutahu” berarti “aku” merasakan keraguan untuk tahu
sesuatu hal.
d. Larik ke-empat : mauku maukau mautahu mausampai maukalian
maukenal maugapai
Larik ke-empat, terdapat
kata “mau” sebanyak tujuh kata, lebih banyak daripada larik pertama hingga
ketiga. Kemauan lebih besar daripada duka, resah, ragu. Tetap saja si “aku”, “kau”, dan “kalian” yang
merasakan kemauan itu. Kemauan itu berbeda-beda, seperti ingin tahu pada
“mautahu”, ingin sampai pada “mausampai”, ingin kenal pada “maukenal”, dan
ingin menggapai pada “maugapai”.
e. Larik kelima
: siasiaku siasiakau siasiasia siabalau
siarisau siakalaian siasiasia
Larik
kelima, terdapat kata “siasia” sebanyak tujuh kali, jumlah ini sama dengan kata
“mau” pada larik sebelumnya. Dapat diartikan jika kemauan si aku, kamu, dan
kalian menjadi sia-sia. “siasiasia”, “siabalau”, “siarisau” merupakan permainan
kata.
f. Larik ke-enam : waswasku
waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswas
Larik
ke-enam, terdapat kata “waswas” sebanyak tujuh kali, jumlah ini juga sama
dengan kata”mau”, “siasia” sehingga dapat diartikan bahwa setelah kemauan si
“aku”, “kau”, dan “kalian” berubah menjadi sia-sia, ke-sia-siaan mereka berubah
menjadi was-was.
g. Larik ketujuh : duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu
duhaikalian duhaisangsai
Larik
ketujuh, terdapat kata “duhai”, si “aku” menyapa “kau”, “kalian”, mengartikan
jika si”aku” ingin semua juga tahu, termasuk “rindu” dan “ngilu”,
sedangkan “duhaisangsai” merupakan
permainan kata.
h. Larik kedelapan : oku okau
okosong orindu okalian obolong orisau oKau O . . . .
Larik kedelapan, sedikit berbeda dengan larik-larik
sebelumnya, “o” bermakna lebih dari sekadar huruf “o”, dalam “oku”, “okau”, dan
“okalian”. “o” seperti sesuatu hal, kemudian kata ”bolong” yang berarti
berlubang dan kata “okosong” dapat berarti suatu kekosongan. Kata yang menonjol
adalah penulisan “oKau”, dapat dirartikan bahwa “Kau” adalah Tuhan.
Dengan
demikian, struktur makna global dari puisi O
bertemakan Ketuhanan. Pengarang begitu menekanan pada kata resah, ragu, mau,
sia-sia, waswas, duhai, dan o adalah sebuah tekanan yang memberi makna lebih
pada duka, keresahan yang akhirnya menimbulkan ragu dan juga keingintahuan
walaupun itu hanya sia-sia dan membuat waswas. Pengulangan kata itu merupakan
penekanan juga pada artinya. Kegelisahan yang menjadi konflik batin si “aku”
bermula dari perasaan duka, keresahan, keraguan hingga muncul kemauan untuk
mengenali/ menggapai Tuhan, namun kemauan itu hanya menjadi sia-sia.
Kesia-siaan itu kemudian membuat perasaan si “aku” menjadi was-was. Pencarian
itu dirasa tak ada hasil, kosong. Duka, resah, dan keraguan hanya bisa
dikembalikan kepada Tuhan.
2.
Penyair
dan Kenyataan Sejarah
Faktor penyair dan kenyataan sejarah akan membantu melengkapi pembahasan
puisi ini dengan mengenali latar belakang pengarang. Sutardji Calzoum Bachri lahir
24 Juni 1941 di Rengat, Riau. Ia muncul di periode 1970-an yang banyak
memunculkan puisi kontemporer. Puisi kontemporer menampilkan struktur
tematik dan struktur sintaktik yang berbeda dengan puisi-puisi sebelumnya.
Kecenderungan yang dibawa oleh
Sutardji Calzoum Bachri yang pertama ialah menghidupkan kembali mantra-mantra Melayu
dalam puisi Indonesia modern. Mantra berarti penggunaan kata-kata atau bunyi-bunyi
yang berulang untuk menciptakan daya magis. Kecenderungan lain yang ia bawa
ialah puisi konkret yang mementingkan bentuk grafis atau tata wajah, disusun
mirip dengan gambar. Di samping makna yang ingin disampaikanoleh penyair, ia
juga ingin memperlihatkan kemanisan susunan kata-kata dan baris serta bait yang
menyerupai gambar.
Puisi-puisi Sutardji sangat
memukau diantaranya disebabkan karena sang penyair mampu memutar balikkan makna
kata, loguka kata, dan juga pengulangan kata-kata. Jika dibaca sepintas tak
terasa memukau, namun jika dibaca lebih jauh, pemutar balikkan dan pembuatan
variasi kata-kata itu begitu cerdas dan bermakna. Pengulangan kata-kata yang
berlebih juga mengandung makna tertentu yakni memperkuat apa yang hendak
disampaikan.
3.
Analisis
struktur Fisik dan Struktur Batin
Dalam mengapresiasi sebuah
puisi,perlu mengetahui struktur fisik dan batin yang dibangun oleh spuisi
tersebut.
a. Struktur Fisik Puisi
Penyair memilih kata-kata yang
mnimbulkan suasana tertentu. Kata-kata itu terkadang memiliki makna kias, makna
sesungguhnya, dan makna lambang.
Diksi yang digunakan kebanyakan makna
sesungguhnya, seperti yang dikatakan Sutardji
Calzoum Bachri dalam “KredoPuisi” bahwa kata itu adalah pengertian itu sendiri
tidak harus bermakna lain. Sehingga dalam puisinya ini banyak terdapat makna sesungguhnya/denotasi.
Namun, yang perlu disoroti adalah kata “oKau”, kata ini dapat berarti penyair
menyinggung/memanggil Tuhan, Oh Kau/oh Tuhan. Sedangkan “obolong” dan “okosong”
merupakan lambang kekosongan.
Pengimajian dalam puisi “O” ini terdapat beberapa pengimajian
antara lain penglihatan, pedengaran, dan cita rasa. Indera perasa dilibatkan
dalam kata ”duka”, “resah” “ragu” “ngilu”, “sia-sia”, dan “waswas”, sehingga pembaca
seakan ikut merasa duka, resah, ragu, ngilu, sia-sia, dan was-was dengan
membaca puisi tersebut.
Pengimajian melalui indera pendengaran terlihat dari kata ”dukangiau”
karena kata ngiau adalah suara hewan yakni kucing sebagai suatu bahan
perbandingan. Selain itu juga ada pengimajian melalui indera penglihatan, yaitu
pada kata ”okosong” dan ”obolong” karena kosong dan bolong itu hanya bisa
diketahui dangan melihat suasana. Semuanya bertujuan membawa pembaca dengan
segenap inderanya bisa merasakan duka, resah, ragu, ngilu, sia-sia, dan was-was
yang ada dalam puisi tersebut.
Rima pada Puisi “O” karya
Sutardji Calzoum Bachri ini banyak menggunakan pengulangan sebanyak 5 kali,
bahkan tujuh kali seperti pada kata “waswas”. Pengulangan yang dilebih-lebihkan
jika dibaca sepintas lalu terkesan bahwa penyair ingin mempermainkan kata-kata
atau suku kata yang diulang. Namun jika pikir lebih lanjut, perulangan yang
berlanjut itu tentu mengandung makna tertentu yakni memperkuat apa yang hendak
diungkapkan.
Tipografi atau tata wajah memberikan nuansa makna dan
suasana tertentu dan dapat menampilkan aspek artistik visual. Secara tipografi, dengan memerhatikan tampilan penataan antar
larik pada
puisi O karya
Sutardji Calzoum Bachri, tampak pada sisi kiri memiliki struktur bentuk yang rata. Hal ini mengesankan
suatu tampilan karakter stabil, lurus, teguh, mantab, dan meyakinkan.
b. Struktur Batin Puisi
Perasaan gelisah, ragu dan pasrah timbul sewaktu membaca puisi
ini, hal tersebut disebabkan pengulangan kata yang berlebih. Pengulangan sebanyak 5 kali, bahkan tujuh
kali seperti pada kata “waswas”, ini yakni pengulangan kata guna menekankan
arti pada kata itu. Begitu juga penekanan pada kata resah, ragu, mau, sia-sia,
waswas, duhai, dan o adalah sebuah tekanan yang memberi makna lebih pada duka,
keresahan yang akhirnya menimbulkan ragu dan juga keingintahuan walaupun itu
hanya sia-sia dan membuat waswas. Pengulangan kata itu merupakan penekanan juga
pada artinya, bahkan kata.
4.
Sintesis
dan Interpretasi
Secara umum, puisi menceritakan kegelisahan yang dialami tokoh si “aku”,
kegelisahan dalam mencari Tuhan. Kegelisahan ini yang menjadi konflik batin si
“aku”. Bperasaan duka, keresahan, keraguan hingga muncul kemauan untuk
mengenali/ menggapai Tuhan, namun kemauan itu hanya menjadi sia-sia.
Kesia-siaan itu kemudian membuat perasaan si “aku” menjadi was-was. Pencarian
itu dirasa tak ada hasil, kosong. Duka, resah, dan keraguan hanya bisa
dikembalikan kepada Tuhan.
Sikap penyair terhadap masalah adalah mengembalikan
kepada Tuhan,oleh karena itu pengarang tak memberi penyelesaian di akhir puisi.
Sikap penyair terhadap pembaca adalah dia menginginkan pembaca juga ikut merasa
kan perasaan penyair. Terbukti pada “resahkau”, “resahkalian” dan lainnya.
Tema puisi O
karya Sutardji Calzoum Bachri bertemakan Ketuhanan. Hal ini tergambar dari
gambaran umum tentang usaha pencarian Tuhan, dari gambaran tersebut diceritakan
perasaan tak menentu/ konflik batin yang dirasakan si “aku” dalam pencarian
Tuhan.
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Surakarta: Erlangga.
Adiel.
2009. ANALISIS SAJAK O KARYA SUTARDJI
CALZOUM BACHRI. (Online), (http://adiel87.blogspot.com/2009/01/analisis-sajak-o-karya-sutardji-calzoum.html), diakses 2 September 2012.