Setiap malam tanpa sepengetahuannya, aku
menyulut dupa, membakar kemenyan, dan merapalkan mantra. Lalu kuremah gumpalan
tanah kubur dan kusebar di bawah kasur. Aku bisa meminta siapa saja
merasukinya. Ketika aku ingin lelaki perkasa macam kuli, aku panggil saja
Limbung yang mati tertindih batu kali. Atau ketika aku ingin bermain-main, aku
panggil saja Jambrong bocah kelas empat sekolah dasar yang mati disodomi lalu
dimutilasi saudaranya sendiri. Siapa saja itu bergantung pada fantasi dan satu
—asalkan dia sudah mati—.
*
Kasur
hitam bertepikan merah terlihat berjajar di sepanjang jalan. Dijemur-dipukul. Debunya
bertebaran. Pemukulnya sesenggukan penontonnya berlarian. Orang sedusun mepe kasur menyusul rentetan
kematian. Yang membuat orang geleng-geleng keheranan: Semua yang mati adalah
lelaki, nihil perempuan. Dan kurun hampir sebulan ada tujuh kematian.
“Mulai
dari sekarang, para lelaki jangan asal dolan.
Harus eling waktu. Kalau
tidak ada urusan penting, lebih baik di rumah saja. Segala macam pekerjaan yang
bisa mendatangkan bahaya, harus ditinggalkan.” Ucap Pak Direjo calon Lurah
dengan lirikan menuju saingannya.
“Ini
sudah tanggung jawab kita bersama. Nanti tolong setiap ketua RT disini
memberikan nama-nama kepala keluarga yang seprofesi dengan almarhum agar bisa
saya santuni. Cukup Mbah Teguh sebagai orang terakhir, jangan ada lagi.” Imbuh
Lurah Blor sambil memelintir kumisnya yang naik turun acap kali berucap.
Kisah
Mbah Teguh yang mati gantung diri beberapa hari lalu seperti menjadi pukulan. Banyak
sebab yang digaduhkan orang sedusun bahkan orang dusun sekitar
berbondong-bondong berkunjung ke rumah Mbah Teguh, ada yang takziah atau hanya
sekadar ingin tahu rumahnya. Dan tentu saja ada satu hal yang mereka bicarakan:
Sebab kematian.
Geger
pasar meruncingkan sebab: Disantet suami penari gandrung terop yang digerayangi penabuhnya sendiri. Geger sawah:
Ia tak betah hidup sebatang kara. Geger pangkalan ojek: Kerasukan setan selepas
mabuk malam itu. Geger masjid: Mati karena waktunya, —klise—. Dari semua geger yang meruncing, yang paling
diterima akal masyarakat adalah Mbah Teguh memilih gantung diri karena lelah hidup
miskin dari upah menabuh kendang yang tak cukup untuk menghidupinya meski
sekadar untuk mengisi perut.
Kematian
Mbah Teguh juga membuat para tetangga melihatku kian miring dengan sorot mata
penuh tanya atas keputusanku memilih Mas Pandu, seorang penari Barong. Dalam
kepercayaan dusunku hanya ada dua nasib bagi lelaki penggiat seni tradisi: Bujang
lapuk atau tukang mabuk. Banyak orang
mengira Mas Pandu kupilih karena ia ampuh bermain mantra kuning waktu geridhoan. Namun, itu sebenarnya tidak ada
hubungannya, sama sekali.
*
Kembang abang selebrang nong
isor kasur
Kamar wis wangi
Isun celuk, mrene
Kene,
isun wis ayu
Isun wis wangi kembang
Pun gyayab
Mulo, gancang
Hujan
turun deras di tengah malam. Kodok-kodok yang tadinya ngorok serampangan kini
terbangun dan memaksa membuat konser dari ngorok dengan birama entah berapa
dengan do darimana. Anjing betina lebih memilih meringkukkan badannya, sementara
pejantan berkeliaran di tengah hujan sambil menggonggong tanda waktu yang tepat
untuk kawin.
Sesaat
sebelum ia pulang, seperti biasa, aku menyulut dupa, membakar kemenyan, dan
merapalkan mantra. Lalu kuremah gumpalan tanah kubur dan kusebar di bawah kasur.
Sesuai perkiraan, Mas Pandu datang beberapa saat setelah ritualku selesai lalu langsung
duduk mencumbu kopi lanang yang sudah kusiapkan di meja makan untuk sesi
basa-basi sepasang suami-istri.
Ia
hampir tersedak di seruputan pertama mendapati perempuannya duduk di seberang
sedang telanjang. Ia naik-turunkan jakunnya. Sorot matanya menelan sekujur
tubuhku yang hanya berhiaskan bintik-bintik air selepas mandi. Tak ada yang
lolos dari sorot matanya: Ujung rambut sampai ujung jembut.
Hujan
deras di luar sana membuat sekujur batang pohon basah pun dengan ujungnya. Akar
pohon yang bersembunyi dalam tanah juga ikut basah. Langit tak ingin ada yang
lolos darinya. Dalam sesi basa-basi sepasang suami-istri itu aku yakin Mas
Pandu juga sudah basah. Jakunnya makin cepat naik-turun, aku bangkit lalu
berjalan ke kamar dengan senyum berahi mengekor.
“Jangan
dulu masuk Mas, isun macak myakne ayu
kanggo siro, Mas.” Kuremangkan nyala ublik9. Sambil
merebahkan tubuh di atas kasur, aku mulai merapalkan mantra dan tentu saja kusisipkan
sebuah nama.
Betina
menyibakkan semak rimbun melihat pejantan mondar-mandir di sekitarnya. Pejantan
masuk. Tertegun melihat betina dengan sekujur bulunya yang mengkilap basah kena
hujan. Lidah dan ludahnya keluar hampir bersamaan. Perlahan mengendus sekitar
memeriksa barangkali ada sesuatu yang mengancam, tapi yang ia dapat malah bukan
sebuah ancaman, namun berahi yang kian menakutkan.
Mengitari
betinanya atau entah betina siapa. Anjing tak perlu memikirkan punya siapa,
yang penting adalah meluapkan berahinya. Pejantan itu mulai menjilati lidah si
betina lalu ke sekujur bulunya. Kini lidah dan ludah betina juga hampir keluar
bersamaan. Tahu tak akan membuat sekujur bulunya mengering, jilatan itu
sekarang menuju lubang si betina. Menggila. Belum puas. Pejantan menata pijakan
lalu menungganginya. Terdengar lolong betina keenakan dari balik semak rimbun
yang tertutup konser kodok dan derasnya hujan.
Isun ngerti iki dudu siro
Siro isun celuk ben isun
seneng
Siro manut nong isun mergo
siro bakal seneng nong isun
“Aku
bersyukur memiliki kau sebagai istri. Semoga kau betah hidup denganku. Aku akan
berusaha melepaskan kita dari keadaan seperti ini.” Pelukan Mas Pandu mengerat.
“Aku
tak terganggu dengan keadaan kita yang seperti ini Mas. Aku sudah merasa cukup
dan bersyukur memiliki suami seperti Mas.” Kujawab seperti yang sudah-sudah.
“Aku
selalu takut kau akan tergoda dengan lelaki lain yang lebih punya daripada
aku.” Ciumannya mendarat di pundakku.
“Tidak
ada lelaki lain yang bisa menggodaku untuk berpaling. Mas tenang saja.” Aku
selalu hafal dialog sehabis senggama ini.
“Orang
matilah yang sanggup menggodaku.” Imbuh batinku.
*
Dusun
benar-benar sepi. Lebih seperti dusun mati. Pukul tujuh malam seluruh rumah
menutup pintu. Sepanjang jalan, aku sudah jarang melihat lelaki berkeliaran.
Lelaki yang dulu sering terlihat kumpul di sudut-sudut dusun pun sudah hilang.
Hanya di rumah Lurah Blor terlihat ramai. Terlihat beberapa lelaki berdiskusi
serius dan yang lain menyeruput kopi.
Terdengar
pintu dibuka dan disusul langkah mengekor kian dekat.
“Sudah
kau terima suratku yang kuselipkan lewat sembako tempo hari?”
“Sudah.”
“Lalu
bagaimana tanggapanmu?“
“Tetap
tidak bisa.”
“Kamu
masih tahan dengan keadaanmu sekarang?”
“Ini
bukan tentang urusan mampu tidaknya ekonomi.”
“Lalu
tentang apa lagi? Akan saya cukupi juga, malah lebih dari cukup.”
Aku
tidak menjawab. Aku hanya diam dan melenggang melanjutkan berjalan. Lelaki itu hanya
menyiratkan wajah tidak ketidakpuasan.
Lepas
dari pertemuanku dengan Lurah Blor. Ia menggila dan mulai berlaku seenak
udelnya. Memanfaatkan kekuasaannya, semua relasi yang berhubungan dengan Mas
Pandu dipersulit. Sanggar Barong sudah tak mau menerima Mas Pandu sebagai
penarinya, mereka berdalih sudah saatnya regenerasi. Lalu lain lagi, sepeda Mas
Pandu dicuri bocah ingusan dengan upah rokok sebungkus. Bahkan tak cukup sampai
disitu, Mas Pandu dihajar preman bayaran karena tak bisa kasih uang jajan
sewaktu di jalan pulang. Aku tahu semua kesialan itu karena ulahnya.
“Bagaimana?
Penawaranku tetap berlaku Yu.” Tanyanya suatu waktu sepulangku dari kuburan.
“Bapak
sudah gila.” Aku terus berjalan.
“Aku
bisa lebih gila kalau Yu tidak mau denganku.” Kumisnya ia plintir menunjukkan
kegilaan.
“Ada
satu syarat yang harus kau penuhi jika Bapak benar-benar menginginkanku.” Aku
berhenti berjalan.
“Apa
itu?”
“Bapak
harus mati, itu syaratnya.”
Tak
ada jawaban. Lurah Blor terpaku. Sementara aku berlalu. Memunggunginya. Tak
terdengar lagi derap langkah mengekor.
Malam
berikutnya. Dusun tak lagi sepi seperti biasa. Suara kentongan dimana-mana.
Lelaki keluar rumah dengan sendirinya. Memeriksa dan saling tanya pada sumber
suara. Lurah Blor ditemukan mati dengan mulut
menganga dan sedikit berbusa di atas kasurnya sendiri. Istri dan anaknya
diciduk polisi untuk diinterogasi.
Sementara,
Pak Direjo sekeluarga lari terbirit-birit. Beberapa orang tak dikenal
mengacungkan arit. Mereka menerabas sawah dan akhirnya terperosok ke dalam
parit. Tak bisa menghindar lagi, orang-orang itu menebas, kepalanya lepas. Istri-anaknya
menangis histeris dengan bercak darah di muka. Malam itu dusun gaduh
segaduh-gaduhnya.
Paginya,
kasur hitam bertepikan merah terlihat berjajar di sepanjang jalan. Dijemur-dipukul.
Debunya bertebaran. Pemukulnya sesenggukan penontonnya berlarian. Orang sedusun
mepe kasur menyusul rentetan
kematian. Yang membuat orang geleng-geleng keheranan: Lagi-lagi semua yang mati
adalah lelaki, nihil perempuan. Kini, dari tujuh kematian menjadi sembilan
kematian dalam kurun genap sebulan. Dan tentu saja ada satu hal yang selalu
mereka bicarakan: Sebab kematian.
Malamnya,
seperti biasa, aku menyulut dupa, membakar kemenyan, dan merapalkan mantra.
Lalu kuremah gumpalan tanah kubur dan kusebar di bawah kasur. Namun, yang
terjadi selanjutnya tak seperti biasa: Yang kupanggil siapa yang keluar siapa.
Lelakiku tak berkumis, tetapi ia memelintir bagian atas bibir seolah ia
berkumis.
Tak
ada hujan pun tak tengah malam. Tak ada kodok ngorok serampangan. Dan tak
seperti biasa, pejantan melolong lebih lantang. Di bawahnya, betina keenakan ditunggangi
pejantan yang kegirangan. Ekornya mengibas kiri-kanan mengusir lalat yang datang.
Lalat sendiri tak tahu siapa yang mengundang dan lalat memang tak butuh
diundang, mereka hanya terbang menuju asal sebuah kebusukan.
*
Setiap
kusisipkan nama di setiap rapalan mantra, aku sudah tak lagi peduli dengan
siapa aku sedang senggama. Entah aku masih disebut manusia atau entah siapa
bahkan apa.
Hanya
saja yang akan bertanggung jawab atas kandungan ini siapa?
*Cerpen ini diikutsertakan pada Lomba Cerpen, Pusat Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian Universitas Brawijaya, 2016*
Jika blog ini menjadi salah satu referensi Anda, jangan lupa menyertakan blog ini dalam daftar rujukan Anda untuk menghargai karya orang lain dan pastinya menghindari plagiarisme. Terima kasih.