Pandaan-Malang
Hal
yang paling males gue lakukan adalah balik ke tempat gue nimba. Nimba ember Bang? Bukan!! Nimba ilmu. Di luar panasnya gak ketulungan, itu
motivasi yang membuat enggan balik. Tapi mau gak mau gue harus balik dengan motivasi bakti kepada Ibu. Ya
syukurlah gue punya Ibu super yang kuat jungkir-balik-salto untuk membiayai kuliah.
Kunci,
HP, dompet, duit, SIM, STNK, sip udah semua,
—Berangkat—
Sepoi angin berhembus
berlawanan dengan arah yang gue tuju, membuat panas terik tak begitu terasa. Syukurlah. Namun sepoi angin menerbitkan
bahaya: Kantuk. Beginilah resiko naik motor gak ada teman ngobrol. Hampir di sepanjang perjalanan otak gue
kosong, bukan berarti otak gue gak ada cairan merah, ini cuma konotasi. Semoga saja
ada hal yang cukup menghibur jiwa gue yang haus akan kesenangan, selain bertemu teman indekos yang
rada-rada mirip penghuni
RSJ, dan indekos gue juga hampir menjadi RSJ.
Ada alasan mengapa disebut
RSJ. Pernah saat gue lagi di indekos, si Ibu indekos —panggil saja Mama— punya
peliharaan baru yaitu, anjing. Dia—anjing— dirantai di lantai dua, bersebelahan
dengan jemuran. Gery, namanya, mengonggong tiada henti dan volumenya makin lantang. Lalu tetangga
bawah rupanya merasa terusik, penasaran lalu menuju ke atas,
"Puss..puss…diem..!!"
ia menunjuk-nunjuk Gery.
'Puss' yang umumnya
diperuntukkan seekor kucing, bukan anjing.
Indikator Mama lain lagi. Ini
waktu gue bayar bulanan indekos.
"Ma, ini bayar buat
bulan depan juga."
Gue ngerti sekarang tanggal dua belas, itu artinya gue telat bayar
dua hari.
"Iya," jawabnya
pendek sambil buka catatan pembayaran anak se-indekos.
"Seharusnya tanggal
sepuluh ya? Ya gini gak apa-apa,
meskipun telat, tapi tetep Mama tulis
tanggal sepuluh untuk pembayarannya."
Betapa sangat baik bukan? Dari dulu juga pembayaran
gak bakal diundur lah. Kalau ditulis tanggal 14, trus bulan depan gue sengaja bayar
telat lagi, dan seterusnya. Dengan perhitungan, gue akan menikmati kamar tanpa
membayar selama sebulan.
Tengok
spion kanan-sepi-salip-pindah ke haluan kiri-tambah kecepatan hingga motor
terasa bergetar, itulah keahlian dalam berkendara yang gue punya. Sampai di
pertigaan Purwosari, kujumpai pemusik sukses yang bernyanyi. Sukses?
Ya, sukses jadi tanggungan negara. Ah sudahlah.
Untuk melawan kantuk dalam
berkendara, sangat dianjurkan untuk bernyanyi gak jelas. Percayalah itu akan
sangat membantu. Dan selain kantuk, ada musuh lagi bagi para pengendara motor
yaitu, gas emisi dari truk-truk. Selain menggangu pernafasan, emisi itu juga akan
menjadikan wajah seperti tentara yang sedang gerilya. Dalam melawan dua bahanya
itu, terkuak fungsi lain dari helm. Pertama, helm mampu meredam suara fals sehingga
gak terdengar orang lain. Kedua, helm mampu membelokkan asap hitam emisi jahat
truk-truk.
—Lawang—
Pemandangan
indah gue
lihat di daerah Lawang, tepatnya saat melintasi fry over. Eh! Fly
over ding. Ketika tanjakan fly over, di sebelah kiri tampak bukit berjajar dengan beberapa cerobong asap pabrik
yang mengepul. Lalu ada awan putih menjadi hiasan diatas dan belakang
bukit.
Sempat
punya pikiran dan sempat kaget: tumben-tumbennya otak gue berpikir ya?
Mengapa daerah ini dinamakan Lawang? Lawang (bahasa jawa) yang dalam
bahasa Indonesia berarti ‘Pintu’. Gue gak pernah nemuin selot pintu besar
sebelum jembatan. Orang zaman dulu emang penuh misteri.
Perhatian
gue kemudian dicuri oleh perempuan-perempuan cantik di
pinggir jalan. Eits! Bukan
menjajakan diri. Mereka berpakaian rapi:
berkemeja putih, bercelana hitam, dan bersepatu kulit hitam layaknya sepatu orang
kantoran.
Cukup lama otak gue mencerna arti visual tadi. Mungkin sel-sel otak gue
sudah bosan hidup di kepala juragan payah. Oh, itu (calon) bidan, cantik-cantik lho
ternyata.
Aduh, gue jadi ingat Aini
Nisa L. —gue lupa ‘L’ itu kepanjangannya apa dan semoga aja
namanya benar seperti itu— temen
SMA. Apa
kabar dia ya? Apa masih bulat seperti terakhir ketemu? Sayang, SMS gak bisa nunjukin kondisinya seperti apa.
Aneh,
mengingat proses kenal, dia adalah (mantan) pacar temen gue waktu SMA, Hadi. Tapi
kalau diingat lagi, gue kenal dia pas lagi dekat dengan Mega, teman Nisa. Agak bingung kan? Apalagi gue. Sifat dia lebih dulu gue tahu daripada ketemu, kebanyakan
yang gue tahu dari Hadi.
Nisa adalah anak seorang Polisi Militer (PM). Awalnya
gue gak percaya, akhirnya gue buktiin
sendiri pergi ke rumahnya. Alhasil, gue lihat helm putih bertuliskan PM menjadi hiasan meja
di ruang tamu. Berikutnya, lukisan besar keluarga terpampang: Ayah,
Ibu,
adik, dan pastinya, sebut saja ‘Bunga’. Dan pernah dia agak malu ketika gue bahas lukisan itu, ya mungkin
merasa bahwa gambar dia di lukisan itu terlalu cantik daripada aslinya.
Hal
unik dari fisik seorang Bunga, di mata kirinya terdapat bintik hitam, yang bisa
disebut tahi lalat. Itu yang gue tangkap saat berani memandang
matanya. Jarang-jarang gue berani
memandang mata seorang cewek. Kelemahan
gue adalah gak
bisa memandang mata seorang cewek lama-lama. Gue takut bisa terhipnotis, lalu tertidur dan menceritakan
semua aib gue.
Pandaan-Malang dengan jarak
tempuh 45 menit. Gak terasa udah
sampai padahal otak baru terisi pikiran saat di Lawang, tepat di tengah-tengah
antara Pandaan dan Malang. Seperti hubungan gue dengan Bunga, di tengah-tengah,
gak terlalu dekat dan gak terlalu jauh.
Sekarang kudapati kenyataan bahwa
diri menuju RSJ a.k.a indekos.
Untung pas gue sampai, penderita gangguan jiwa tak terlalu ramai, jadi bisa
sampai di kamar dengan selamat tanpa kurang sedikit
pun.
Ingatan
kecil
Apa benar cinta pertama itu
sulit dilupakan? Kebanyakan cinta pertama mereka saat SD. Gue berpikir, mungkin
karena ingatan paling kuat adalah saat anak-anak, jadi mereka beranggapan cinta
pertama sulit dilupakan dan setiap orang pasti punya cerita sendiri-sendiri. Banyak juga hal yang mengingatkan pada seseorang itu. Bisa dari
foto bareng yang tentu saja difoto oleh guru, atau keluarga pada saat acara
sekolah.
Kalau kenangan cinta
pertama muncul dari sebuah bangku di sekolah dasar? Mungkin cuma Bunga yang
punya. Memang sedikit aneh anak itu. Bangku sekolah yang bertuliskan nama dia
dengan cinta pertamanya, ditulis menggunakan tipe-x.
Untung waktu dia SD gejala
alay belum merasuk. Coba kalau sudah masuk, mungkin bangku akan bertuliskan,
“Aquhh ayangh ammuhh..”
Atau kalau gak,
“BunG4 cyinyytta4h :* :* :* :* :*”
Berbeda jauh dengan gue. Kehidupan
masa SD menjadi kutu buku. Gak
mengenal apa itu “cinta”. Padahal sudah banyak anak-anak yang sudah main “pacar-pacaran”.
Gue mulai berpikir ada yang mencintai ada yang dicintai saat gue dapat sebuah
boneka beruang dari keramik dan surat kecil dari teman perempuan. Itu pun sehari
setelah acara kelulusan. Di surat itu dia menyatakan cinta ke gue, bingung gak ketulungan. Sayang, satu hari
setelah gue menerima surat itu, dia balik ke kampung halamannya, Palembang.
Bagaimana dengan Bunga?
Yang aku tahu, dia masih ingat ‘Itu’.
Kita akan tertawa jika
mengenang hal-hal kecil tentang cinta pertama. Kita akan selalu ingat itu
walaupun sudah memiliki hubungan dengan orang yang jauh berbeda dengan “Cinta
pertama saat SD.”
“Cewek itu gak bisa lupa sama apapun yang dia
anggap spesial banget, biarpun udah terkikis masa!” katanya suatu waktu.
Sedikit Berubah
“Halo tetangga!!” pasien
kamar sebelah menyapa dengan raut wajah riang gembira.
Dasar penghuni RSJ, berharap tidur dua jam, terpotong karena
pasien sebelah.
Setelah bangun tidur, otak
kita memiliki refleks alami karena kebiasaan, dan kebiasaan bangun tidur gue
adalah lihat handphone.
Kucek mata sedikit-buka tombol-
“Ada SMS?”
“Woi, aku di Gramed.”
—Hening—
—Bunyi SMS
masuk—
“Ayooo nontooooooon
skrg..hehehehe.”
“Ha???!!”
SMS dari Bunga lebih
mengangetkan daripada pasien sebelah.
Gue harus segera mandi dan
meluncur ke salah satu mall besar di Malang. Bunga sudah ada disana. Cewek yang
sulit ditebak. Mungkin, kalau ada polisi yang mengintai dia, polisi bakal
frustasi karena jadwalnya yang suka berubah-ubah.
“Mau kemana nih?”
“Ke 21!.”
“Ngapain?”
“Bunga SMS.”
“Wusshh, tetangga kita
kencan!”
“Kencan gundulmu a?! Sudah
ada yang punya.”
“Halahhh…Selama janur
kuning belum melengkung!”
Semboyan pasien sebelah barusan memutar ingatan gue secara
cepat, semboyan yang sempat membawa gue dalam masa yang kelam, mengejar seorang
cewek yang sudah memiliki hubungan dan selalu mencari celah. Sudahlah.
—Mandi—ganti baju—ngaca—cukuran—ngaca lagi—oke—bunyi SMS masuk—
“Gramed lantai 2. Baju
kuning kotak2. Gausah dandan. Lama!”
Tahu aja kalau gue lagi dandan.
“Berangkat dulu bro!!”
“Oke tetangga!! Sukses buat
kencannya!!”
—Sampai—
Oke, sekarang menuju ke
tempat janjian. Cari cewek baju kuning. Masuk Gramed, clingak-clinguk. Ada punggung yang tak asing lagi bagi gue, mungkin
itu dia. Lagi-lagi, kecanggungan gue ke dia gak ada hilangnya. Mending gue SMS suruh hadap belakang. Namun
usaha gue itu gagal, HP Bunga mati. Terpaksa gue tunggu sampai dia balik badan
sendiri.
—Dor!!—
Akhirnya berbaliklah dia.
Sedikit berubah, tumbuh
jerawat pada kedua pipinya, agak kurus, wajahnya sudah tak lagi bulat karena
pipi yang sedikit banyak mengandung lemak.
Dan berjalanlah dia dan gue
ke 21, namun apa yang terjadi pemirsa?
Film sudah berlangsung selama sepuluh menit dan dia memutuskan untuk nongkrong
saja.
Dia memakai sepatu high
heels coklat, cukup match dengan warna hitam tasnya
dan baju kuning kotak-kotak. Inilah Bunga yang gue kenal dari dulu. Untuk
masalah fashion dia paham, jadi
memikirkan mix and match. Enggak
seperti gue yang menerapkan mix and match dengan ketersediaan
pakaian yang bersih, bukan warna.
Gue hanya pakai kaos hitam,
celana hitam dan sandal model japit putih. Berandal, dia menilai gue begitu.
“Gue laper!” cetus gue.
“Udah kelihatan kok.”
“Makan aja ya.”
“Iya.” jawabannya pendek.
Apa dia malu berjalan dengan berandal? Ya, sekilas seperti putri
orang penting yang memiliki body
guard cacingan.
Nasi goreng adalah menu
yang gue pilih di antara banyaknya pilihan, bukan karena selera, hanya karena
gue gak tahu rasa dari menu yang disediakan food court. Prinsip
gue, ‘Buat perut kok coba-coba.’
“Cari tempat dulu.”
“Oke!” jawabku pendek.
Gue mah nurut aja sama
majikan.
Selama pembicaraan, gue
memperhatikan dia, apa aja yang berubah selain pipi. Gue lihat mata kiriya,
tahi lalatnya tetap di mata kiri, gak pindah-pindah. Hanya cara berpakaian
sudah berubah ke arah dewasa dan tak lupa cara berbicara seperti presenter
yang sudah sukses.
Dari segi abstrak, ada hal
besar yang berubah, benar-benar 360 derajat. Dalam hal pemilihan cowok, dia
dari dulu memiliki selera tinggi dalam hal ini. Kalau gak cowok kulit putih, tajir, keren, ganteng, tentu saja itu
menurut dia. Namun nampaknya gangguan otak terjadi padanya. Dia memilih cowok
yang bertolak belakang (secara fisik) dari yang gue sebutin tadi.
Dia kenal cowoknya (sampai
detik gue nulis ini) melalui jejaring sosial itu. Apa sebaiknya gue nuntut ke Mark Zulkenberg aja ya? Penemuan gila
membuat dia juga gila.
“Beauty and The Beast.”
Cuma itu yang bisa
menggambarkan.
Berubah: Sebuah kepastian
yang selalu terjadi dan dialami manusia seperti Bunga, walaupun sedikit.
Pangeran
yang Tak Diharapkan
Sekolah Menengah Atas, banyak
yang bilang kalau masa itu masa yang paling sulit buat dilupain selain cinta
pertama. Mulai dari kenakalan yang bertambah intens, menemukan sahabat,
mengenal adanya penjurusan, bertambahnya spesifikasi mata pelajaran, try
out SNMPTN, dan PMDK. Ada hal yang gak bakal dilupain
oleh dia saat dia pingsan.
—Bagi pembaca yang gak tahu
menahu tentang kejadian ini, tenang aja, bakal gue ceritain— Bunga memang gak perhatian dengan perut, dalam
artian malas makan dan otaknya dipenuhi dengan rumus —otomatis karena jurusan
IPA—. Karena kecerobohannya itulah dia bertemu pangeran.
Suatu waktu, gue lupa hari
apa itu, kalau tidak salah hari Senin, selepas upacara bendera atau olahraga,
cuaca sangat panas. Kemudian apa yang terjadi? Dia pingsan! Kabar dari beberapa
teman dan memang benar setelah yang pingsan cerita sendiri ke gue.
Layaknya dongeng yang
terjadi, putri yang terkulai lemas ditolong oleh seorang penyelamat, yaitu
pangeran. Bunga digendong oleh pangeran dan dibawa ke ruang UKS beserta
teman-teman ceweknya dibelakang mengiringi prosesi tersebut.
Namun anehnya, dia
gak suka dengan pangeran ini, jauh dari harapan seorang Bunga. Pangeran kodok
mungkin yang dia harapkan. Namanya Sayful Rizal, temen gue, sekaligus mantan personil
band gue waktu SMA. Berpawakan tinggi, kulit sawo mentah, dan lubang hidung
yang cukup menyedot tiga ekor lalat sekaligus.
Untung saja dia pingsannya
merem, coba kalau melek, bakal turun
dari gendongan dan jalan sendiri ke UKS. Cowok itu memang suka dia, mungkin
dari kelas satu SMA. Mereka kan satu kelas, dan cinlok pun menyerang.
Masa SMA memang indah, bahkan
bagi pangeran yang tak diharapkan.
Pendek untuk Panjang
Obrolan panjang terus
berlanjut, piring sisa nasi goreng, es teh yang tinggal separuh, bon pembelian,
tas Bunga, dan uang recehan tetap jadi penonton setia di atas meja. Kita duduk
di sebelah pilar yang cukup besar, suaranya paling gue dengar dari semua yang
bisa gue tangkap saat itu.
Topik kuliah menjadi menu
pembuka obrolan, lanjut ke urusan pasangan, dalam topik itu gue gak banyak
ngomong karena gue gak punya pasangan. Dari hal wajar hingga hal gak wajar kita
bahas.
“Cowokku bingung mau ngasih
gue kado apa.”
Gue baru nyadar, hari Jumat
dia ulang tahun yang ke sembilan belas, masih kecil manggil gue ,’ Dek.’
Gue juga bakal bingung
kalau dia minta kado, sebenarnya ingin ngasih kado ke dia, namun apa kado gue
ntar berarti di hati dia?
Pernah waktu dia ulang
tahun. gue lihat jejaring sosialnya —jejaring
sosial juga menjadi pembuktian eksistensi kepopuleran, waktu ultah— banyak
banget yang mengucapkan,
“HBD!”
Ada juga yang pakai bahasa
Jepang, Indonesia, Jawa, sampai pakai gambar gift, kemudian sampai
ada yang mention (mengharap dibalas). Benar-benar memenuhi wall-nya.
Lu akan sedikit emosi kalau ingin baca status terakhirnya, karena lu harus klik
‘see more posts’ berulang kali.
Topik mantan juga sempat
kita bahas waktu itu, dan lagi-lagi membuka luka hati. Di food court yang
sekarang kita kunjungi juga pernah menjadi saksi bisu kemesraan gue dengan (mantan)
pacar. Dia sempat kerja di mall sebelah.
Kita putus karena memang semua berubah, dalam waktu sebulan, waktu yang cepat
dibanding dengan hubungan yang telah kita jalin mulai SMA.
Bunga mungkin juga pernah
merasakan manisnya pacaran di tempat ini (mungkin sampai sekarang juga). Tapi
sekarang kita sedang membicarakan mantan, bukan pacar. Hadi, mantan pacar dia,
lagi-lagi muncul nama cowok itu dalam obrolan, mungkin mantan yang dianggap
oleh Bunga hanya dia seorang. Sifat Bunga yang rada emosional membuat temen
gue, Hadi, gak kuat. Dia marah karena cowoknya sering mengingkari janjinya,
begitulah yang gue tangkap.
Nasi goreng dan es teh
menjadi bahan bakar selama satu setengah jam ngobrol, untung meja makan gak
pake bill seperti warnet, bayar dua kali dong ntar. Tengok
kiri-kanan kulihat saja, banyak pengujung yang sudah hilang. Tentu saja,
berbeda dengan kita yang ke food court untuk makan plus-plus,
plus ngobrol maksudnya.
“Jam berapa?”
“Jam enam sore, kamu gak balik?”
“Iya, ayo balik.”
Gue beranjak dari kursi,
kursinya bilang terima kasih karena terlalu lama diduduki, dan piring beserta
gelas melambai mengucapkan sampai jumpa. Masih terasa banget memori bersama mantan. Rela (hanya) menemani dia buat makan
pas istirahat se-jam, ngobrol dengan waktu efektif setengah jam, dan lalu balik
kerja. 15 menit nemenin makan, 15
menit ngobrol, 15 menit dia pergi ke
toilet buat memperbaiki make up-nya lagi, dan 15 menit selanjutnya
gue merana karena hanya waktu yang membunuh gue secara perlahan.
—Turun ke lantai dua—
“Udah ya.”
“Ya.”
Kita salaman, seperti
biasa, tangannya masih lengkap, kiri-kanan, jari-jari juga masih utuh yang
kanan untuk bersalaman.
Gue ngerti kalau Bunga
orangnya males dengan kelebayan dalam pemberian perhatian, ini
gue tangkep pas gue anterin dia pakai motor dan saat itu hujan, dia males pakai
jas hujan dan neg dengar perkataan
gue yang dia anggap terlalu perhatian. Hal itu juga yang membuat gue enggan
buat nanya ini itu selepas ini.
Akhirnya gue cuma ngomong,
“Hati-hati kalau pulang, habis kaki kiri langsung
kaki kanan..” campur dengan canda.
“Iya.”
“Kamu ke kiri kan? Ke parkiran?”
“Iya, kamu lurus ke depan?”
“Iya. Udah ya.”
—Pisah—
Seiring dengan turunnya
kita dari eskalator, dia ke arah depan, gue ke arah kiri, ke parkiran. Kata
yang terlalu pendek untuk penutupan sebuah obrolan panjang. Menyesuaikan dengan
durasi dari sebuah eskalator. Jika saja eskalator bergerak lambat, penutupan
akan sedikit lebih panjang.
Jika blog ini menjadi salah satu referensi Anda, jangan lupa menyertakan blog ini dalam daftar rujukan Anda untuk menghargai karya orang lain dan pastinya menghindari plagiarisme. Terima kasih.