Bunyi
srek-srek dan cit-cit sandal Sarpan selalu terdengar setiap ia melangkah menelusuri
jalan setapak yang membelah tegalan. Krik-krik
jangkrik dan sesekali suara burung hantu juga setia mengiringi. Celananya ia
gulung beberapa kali sehingga luka bakar bekas kena knalpot di betis kanannya
terlihat. Perilaku ini lumrah bagi masyarakat dukuh Darit —dan masyarakat pada umumnya— agar celananya tak terkena ledok, maklum tadi sore diguyur hujan
sedang. Beberapa tetes air masih tampak mesra bergelantungan di ujung dedaunan,
bahkan bau harum tanah juga masih tercium di sepanjang jalan.
Jemari
kurusnya tampak kesulitan menggenggam pegangan keranjang, beberapa kali ia
sengaja berhenti sekadar membenarkan jemarinya. Bisa jadi karena keranjangnya terlampau
berat karena berisi penuh buah-buahan atau jemarinya yang lemah. Lalu di
kesekian pemberhentiannya, ia mempersilahkan keranjang dengan lentera untuk
bertukar tempat. Tampak ia mengurut pergelangan tangan kanannya. Ada benjolan
tepat di lajur jari tengah. Itu bekas jatuh dari sepeda yang membuat pergelangan
tangan kanan retak. Ia pun melanjutkan langkahnya setelah peluh di jidatnya
diusap.
Malam
ini Sarpan berniat melamar Sri, pujaan hati yang berumur enam tahun lebih muda
darinya. Tekad itu sudah lama menjadi impian lelaki yang baru saja diangkat
menjadi guru honorer di SMA tak jauh dari dukuh Darit. Sri memang perempuan
biasa, tak banyak omong dan nriman. Pernah
Sarpan membelikan baju lebaran dari hasil kerja sambilan di warung kopi.
Perempuan itu hanya tersenyum, lalu tanpa banyak omong ia langsung memeluk
Sarpan erat-erat. Mungkin kesederhanaan Sri yang membuatnya memiliki impian
yang kali ini segera ia wujudkan.
Sebenarnya
mimpi ini tidak datang dari Sarpan seorang. Mimpi ini juga muncul dari pujaan
hatinya. Disaksikan pohon kelapa, ikan wader, dan beberapa pelet, mereka bermimpi duduk bersama di
pelaminan yang pada saat itu kwade-nya
adalah dudukan dari bambu di tepi empang.
Sarpan
sendiri yang menemukan tempat itu. Dan di hari berikutnya sejak ia temukan, lelaki
kurus itu susah payah menggergaji beberapa bambu dan membuatkan dudukan tepat
di bawah pohon kelapa di tepi empang, sudut yang pas karena dari sana terlihat
lanskap gunung lengkap dengan beberapa kuntul terbang—jika bertepatan dengan jadwal terbang mereka—. Di hari keempat, Sarpan duduk di bawah pohon juwet menunggu
kedatangan perempuannya pulang dari sekolah, menyuruhnya cepat-cepat ganti
baju, lalu membawanya dengan sepeda kebo kesayangannya. Sarpan memamerkan
tempat romantis yang susah payah ia bangun. Lagi-lagi Sri tanpa sepatah kata,
hanya tersenyum, kedua matanya menatap Sarpan erat, jemari mungilnya menyeka
peluh lelakinya, lalu kedua tangannya melingkar mesra di tubuh Sarpan.
Sampai
pada persimpangan pertama, Sarpan berhenti sejenak dan mengendus ketiak kiri-kanan
untuk memastikan wanginya tidak menguap sebelum sampai. Sarjana muda itu mengambil
nafas panjang sambil memandang ke arah jalan setapak tempat ia akan tuju. Pandangannya
jauh. Padahal tak ada apa-apa yang bisa dilihat. Gelap. Mungkin yang terlihat
hanya kunang-kunang bercumbu berjamaah di dekat sawah. Ah, tidak mungkin ia
akan berbalik. Prinsipnya; lebih baik pahit dan sakit daripada berbalik lalu
kembali.
Memang,
selain dikenal berprinsip, Sarpan juga dikenal sebagai lelaki yang ngeyel; bersikukuh kuliah dengan
pemahaman kalau sarjana akan memiliki derajat yang lebih tinggi, setidaknya itu
berlaku di dukuh Darit. Tamat SMA ia rela bekerja apa saja demi masuk perguruan
tinggi. Pagi sampai siang menjaga kios di kantin sekolah bersama emaknya. Sore
hari, motor bebek milik Lek Lestari
dipinjam untuk berkeliling ke sekolah-sekolah; mencari apa saja yang bisa ditimbang
lalu dijadikan uang. Apa saja; kertas, kardus, besi, kuningan, dan tembaga.
Sampai-sampai pernah tepat tengah malam, travo
lampu jalan di dukuh sebelah ia ambil saat peronda terlena main gaple di pos
kamling.
Lelaki
kurus itu melanjutkan langkahnya, namun kepalanya agak tertunduk, seperti
menyusuri setapak yang diam-diam menyimpan ranjau di bawah genangan air.
“Mas Sarpan. Sampean mau kemana?”
“Eh
Pak Jarwo. Mau ke Pak Mansur.”
“Walah.
Pantesan, wangimu ndak karuan.
Hati-hati, nanti diam-diam ada yang ikut. Dan nanti kamu kesurupan di tengah
jalan.” Ah, gurauan Pak Jarwo itu-itu saja. Sarpan tertawa untuk mengiringi
tawa seorang peternak wader. Itung-itung
menghargai orang tua.
Sepanjang
jalan kepalanya tetap menunduk. Kini krik-krik
jangkrik dan sesekali suara burung hantu menjadi musik pengantar ke masa lalu.
Ada yang dipikirkan Sarpan sepanjang jalan. Sikap ini pernah ia tunjukkan
ketika merasa gagal menjadi pelindung bagi pujaan hatinya. Jika mengingat situasi
kala itu, lelaki kurus ini sering melamun seakan meratapi kebodohannya. Sri
pernah kesurupan pertama kali seumur hidupnya, lalu diikuti kesurupan yang kedua,
ketiga, dan seterusnya. Sarpan hanya bisa membopong dan mencari orang pintar
untuk nambani.
Kejadian
itu terus berputar di pikirannya. Sampai-sampai ia rela tanya kesana-kemari dan
membeli buku panduan untuk nambani.
Ia ingin menjadi lelaki yang berguna bagi pujaannya, setiap saat dan
bagaimanapun kondisinya. Pernah satu hari Sarpan berhasil nambani Sri. Tidak
seperti wong pinter yang komat-kamit,
Sarpan mendekatkan bibirnya ke telinga kanan Sri. Ia hanya memanggil nama
pujaan hatinya, lalu menuntunnya untuk membaca istighfar, bukan mantra yang biasa ia dengar dari mulut Mas Priyo. Tangan kanan Sarpan memegang
lembut kepala Sri yang mencoba menolak, sedangkan tangan kirinya menahan tubuh
pujaannya yang menggeliat bak cacing menyebrang jalan beraspal di siang bolong.
Butuh beberapa putaran detik jam agar Sri kembali sadar. Selepas itu, Sarpan
cepat-cepat menyeka air matanya. Ia tak mau terlihat lemah di hadapan Sri.
Pada
suatu senja, sebelum berangkat ke warung kopi, di tempat romantis mereka,
Sarpan mencoba mengungkapkan kegelisahannya. Pohon kelapa, ikan wader, —kali ini tidak ada pelet— seperti penguping yang tak sabar
menyimak.
“Dek, aku merasa tak pantas menjadi
laki-lakimu. Aku tidak bisa berbuat banyak ketika…kau taulah maksudku.”
“Mas, aku tak butuh mas jadi wong pinter
seperti Mas Priyo. Sekarang ini aku
berada di tahap yang sulit. Aku harus menjadikan diriku kuat. Setelah ini, aku
akan baik-baik saja seperti dulu. Tidak selamanya aku akan seperti ini.
Percayalah.”
“Andai
aku punya kelebihan seperti Mas Priyo,
kau tak perlu susah-susah ke Mas
Priyo untuk nambani. Aku juga menjadi
tahu, sama sepertimu, bisa melihat yang sekarang tak bisa aku lihat.”
Sri
hanya menatap lembut kedua mata Sarpan. Tangannya memeluk lengan kiri lelakinya,
lalu ia rebahkan kepalanya ke bahu Sarpan. Kini mereka sama-sama memandang lanskap
gunung, lengkap dengan beberapa burung kuntul terbang menyaingi layangan
anak-anak dukuh Darit di tepi empang yang airnya bergelombang tertiup angin
senja.
“Mas…Kata Mas Priyo. Tidak akan bisa orang yang sama-sama bisa lihat begituan bisa hidup berdampingan. Mereka
akan terus bertengkar karena selalu merasa benar. Mereka tidak saling
melengkapi. Mas ada di sampingku
sekarang, itu sudah menjadikan hidupku lengkap.”
Sarpan
tak bisa berkata apa-apa lagi. Semua kegelisahannya hanya sampai di tenggorokan,
selebihnya ia hanya merasakan ketentraman dan semilir angin senja. Pohon kelapa,
ikan wader, —kali ini tidak ada pelet— tak lagi menguping. Mereka ikut
merasakan semilir angin senja. Suara nyiur diterpa angin dan kecipak riak ulah
wader menjadi musik pengiring keromantisan mereka.
Di
persimpangan berikutnya, Sarpan kembali berhenti sejenak dan kembali mengendus
ketiak kiri-kanan untuk memastikan wanginya tidak hilang sebelum sampai. Ia
mulai mengangkat kepalanya lalu menatap ke langit. Berharap Yang di Atas juga mengabulkan impiannya. Sarpan
percaya mimpinya akan segera terwujud sebab Sanah, emaknya, sudah percaya
kepada anak semata wayang atas keputusan untuk melamar Sri. Ia teringat ajaran
guru agama di sekolahnya dulu; restu ibu sama dengan restu Tuhan.
Meskipun
secara logika, jika dihitung-hitung; gaji guru honorer sangat pas-pasan untuk
berkeluarga, paling banter hanya sampai asap tetap mengepul di dapur. Namun,
mau bagaimana lagi, emak sudah tua, Sarpan takut di hari ketika ia sudah mapan
dan pantas menikah, perempuan yang melahirkannya itu sudah tidak bisa lagi melihat
dengan jelas. Ia takut emaknya tidak bisa melihat kebahagiaan anak laki-laki, menantu,
apalagi cucunya kelak. Sanah sekarang kemana-mana juga harus dituntun. Makanya,
Sarpan tidak mengajak emaknya untuk melamar Sri. Lalu bapaknya? Bapaknya sudah
lama mati kena serangan jantung ketika melintasi rel kereta api. Jadi mau-tidak
mau, ia harus segera melamar dan berangkat sendiri.
Sarpan
memeriksa apakah buah dalam keranjang masih utuh dan tampak segar. Ia juga menaikkan
sumbu lentera agar terangnya terjaga. Kini srek-srek
dan cit-cit kembali terdengar.
Suaranya lebih cepat, nampaknya Sarpan sudah tidak sabar lagi. Sambil berjalan
menelusuri jalan setapak, sesekali ia melihat jam tangannya sambil komat-kamit,
bukan mantra, namun mencoba mengatakan apa yang harus ia katakan kepada Pak Mansur,
calon mertuanya.
Kemeja
Sarpan sudah berpeluh dan terlihat basah membentuk lingkaran tak sempurna tepat
di punggung. Bagian bawah celananya juga basah terkena cipratan air dari
langkah kakinya. Di betis, terlihat beberapa cipratan tanah sudah mengering dan
—yang pasti— luka bakar bekas kena knalpot. Jantungnya
berdetak agak kencang, karena ia mempercepat langkahnya ditambah perasaan yang
sedang campur-aduk.
Srek-srek dan cit-cit sandal Sarpan tak terdengar. Kedua matanya sudah bisa
melihat rumah calon mertuanya. Lelaki itu berdiri tegak dan menyipitkan matanya
ke arah rumah itu. Ia menyeka peluh yang membasahi wajahnya, lalu kembali mengendus
ketiak kiri-kanan untuk memastikan wanginya tidak menguap di sepanjang jalan.
Persimpangan
terakhir sudah ia lewati beberapa saat yang lalu, namun bagi Sarpan masih ada
persimpangan lagi. Persimpangan itu riuh, penuh hiruk pikuk dan suara-suara
orang yang dikenal. Di keriuhan itu ia mendengar suara emak dan mendiang bapaknya.
Kisah-kisah yang sudah dilalui untuk memantaskan dirinya menikahi putri Pak Mansur
tiba-tiba ikut serta muncul, termasuk rasa ketidakpantasan menjadi lelaki Sri
jika mengingat masa-masa ketika pujaan hatinya itu kesurupan.
Krik-krik jangkrik dan suara burung hantu—kini kodok juga—terdengar membentuk komposisi yang
indah dengan Sarpan sebagai konduktor dan lentera sebagai pengganti tongkat. Kunang-kunang
yang tadinya bercumbu berjamaah di dekat sawah kini berada tepat di atas
kepalanya. Sarpan tampak bersinar. Lalu srek-srek
dan cit-cit terdengar bergantian
seperti penanda satu metrum telah berakhir. Jangkrik, burung hantu, dan kodok
memberikan ruang untuk Sarpan bermain solo. Di metrum selanjutnya, setelah
bunyi tok-tok-tok sebagai penanda, mereka
kembali memainkan komposisi yang indah untuk Sarpan.
Keterangan
|
:
|
Tegalan (bahasa Jawa)
|
=
|
Ladang
|
Ledok (bahasa Jawa)
|
=
|
Tanah yang basah
|
||
Nriman (bahasa Jawa)
|
=
|
Menerima apa adanya
|
||
Kwade (bahasa Jawa)
|
=
|
Tempat duduk untuk pengantin
|
||
Ngeyel (bahasa Jawa)
|
=
|
Berkeras hati
|
||
Lek (bahasa Jawa)
|
=
|
Paman
|
||
Travo
|
=
|
Kumparan dari tembaga
|
||
Mas (bahasa Jawa)
|
=
|
Panggilan untuk laki-laki yang lebih tua
|
||
Sampean (bahasa Jawa)
|
=
|
Anda
|
||
Nambani (bahasa Jawa)
|
=
|
Menyembuhkan orang yang kesurupan
|
Malang, 6 November 2014
Jika blog ini menjadi salah satu referensi Anda, jangan lupa menyertakan blog ini dalam daftar rujukan Anda untuk menghargai karya orang lain dan pastinya menghindari plagiarisme. Terima kasih.