Desember,
sebuah bulan sebuah sebutan
bulan penuh perubahan
Terima kasih Allah yang Maha Segala
Terima kasih Ibu atas segala kasih sayangmu
Terima kasih sahabat dengan segala hormat
kepada yang Maha Esa
hindarkanlah aku dari hal resah
kepada Ibu
tak kan terganti dengan terima kasih beribu
kepada sahabat
tuntunlah aku menjadi hebat
Desember,
sebuah bulan sebuah sebutan
bulan penuh perubahan
PUISI: "Kau Sampah yang Menyebut Kami Sampah" - Wildan 'Jayus' T. Rohman
Aku tersesat di tempat kotor
penuh bangkai kotoran
sampai aku ingin pergi
apa yang kumakan?
Jika semua adalah kotoran!
Apa yang kuminum ?
Jika air ini keruh dengan sampah!
Ya,
negeri ini sesak dengan sampah!
tumpukan bangkai daging ke sana kemari
susah payah mengais makanan
jika kau sebut kau bangkai?
Lalu kau sebut kami sampah?
Hei,Kau yang sampah!
Kau lebih tak berguna dari bangkai!
Negeri ini sudah cukup penuh dengan sampah!
Kau sampah yg menyebut kami sampah!
Kemana kami harus membuangmu?
Atau kami bakar saja?
Hei
sampah yg menyebut kami sampah!
Berhentilah menjadi sampah!
Kau tak bisa di urai maupun di daur!
Kau sampah yang menyebut kami sampah!
kau memang sampah!
Jika blog ini menjadi salah satu referensi Anda, jangan lupa menyertakan blog ini dalam daftar rujukan Anda untuk menghargai karya orang lain dan pastinya menghindari plagiarisme. Terima kasih.
penuh bangkai kotoran
sampai aku ingin pergi
apa yang kumakan?
Jika semua adalah kotoran!
Apa yang kuminum ?
Jika air ini keruh dengan sampah!
Ya,
negeri ini sesak dengan sampah!
tumpukan bangkai daging ke sana kemari
susah payah mengais makanan
jika kau sebut kau bangkai?
Lalu kau sebut kami sampah?
Hei,Kau yang sampah!
Kau lebih tak berguna dari bangkai!
Negeri ini sudah cukup penuh dengan sampah!
Kau sampah yg menyebut kami sampah!
Kemana kami harus membuangmu?
Atau kami bakar saja?
Hei
sampah yg menyebut kami sampah!
Berhentilah menjadi sampah!
Kau tak bisa di urai maupun di daur!
Kau sampah yang menyebut kami sampah!
kau memang sampah!
Jika blog ini menjadi salah satu referensi Anda, jangan lupa menyertakan blog ini dalam daftar rujukan Anda untuk menghargai karya orang lain dan pastinya menghindari plagiarisme. Terima kasih.
PUISI: "Pergi" - karya Wildan 'Jayus' T. Rohman
bukan maumu kau
pergi
mau Dia
kau tidur
bukan maumu kau
tidur
mau Dia
aku menerima
bukan mauku
menerima
mau Dia
apalah raga
hingga jiwa atas Dia
mauku menerima
kemauan Dia
sampaikan salam
untuk Dia
aku menerima
kau pergi
selamanya
-Untuk mengenang
Ayahku-
Semoga jiwamu
tenang di sana, tempat yang aku tak tahu dan akan kita semua tuju. Semoga rindu
ini kau tahu, sebenar-benarnya aku, sangat merindumu.
7.10.12
J.A.J
Jika blog ini menjadi salah satu referensi Anda, jangan lupa menyertakan blog ini dalam daftar rujukan Anda untuk menghargai karya orang lain dan pastinya menghindari plagiarisme. Terima kasih.
PUISI: "Arti Hujanku dan Hujanmu" - karya Wildan 'Jayus' T. Rohman
kita begitu mesra
di tengah hujan yang dingin
menggigil bersama
dan bahagia dalam itu semua
hujan banyak
berbicara tentang kerinduan
namun tak bisa
menyampaikan
rinduku atau
mungkin rindumu jika kau rindu
akan hilang
bersama menguapnya air hujan
akan tiba saat
hujan terasa biasa
hujan memang tak
bisa menyampaikan
namun hujan tidak
bisu
dia memiliki
caranya sendiri
tinggal aku atau
mungkin dirimu yang mau mengaku
bisa menangkap
arti semua
5.10.12
J.A.J
Jika blog ini menjadi salah satu referensi Anda, jangan lupa menyertakan blog ini dalam daftar rujukan Anda untuk menghargai karya orang lain dan pastinya menghindari plagiarisme. Terima kasih.
LAKON (Naskah Drama): "Sumur Tanpa Dasar" Karya Arifin C. Noer
Lakon SUMUR TANPA DASAR
Karya Arifin C. Noer
PENGANTAR
LAKON INI
DITULIS, DISUTRADARI DAN DIPENTASKAN PERTAMA
KALI OLEH
ARIFIN C NOER, DI BAWAH BENDERA TEATER MUSLIM.
PADA TAHUN
1971, LAKON INI KEMBALI DISUTRADARAI DAN
DIPENTASKAN
ARIFIN C. NOER, DI TIM JAKARTA, DI BAWAH BENDERA
TEATER KETJIL.
KEBERHASILAN
PEMENTASAN LAKON INI, DISUSUL OLEH
SEJUMLAH
PEMENTASAN LAKON LAINNYA, BAIK KARYANYA SENDIRI
MAUPUN
KARYA-KARYA TERJEMAHAN, MISALNYA KAPAI-KAPAI,
ZORRO, ORKES
MADUN, ATAU MACBETH (EUGENE IONESCO) FAUST
(GOETHE) DAN
FLIES (SARTRE), MENGUNDANG REAKSI PARA
PENGAMAT
TEATER. REAKSI ITU KEMUDIAN MENEMPATKAN SOSOK
ARIFIN C. NOER
SEBAGAI SALAH SEORANG PENULIS LAKON
TERKEMUKA
NEGERI INI, SEKALIGUS SEBAGAI PENYAIR, SUTRADARA
DAN KEMUDIAN
PENULIS SCENARIO FILM TERNAMA.
SEBAGAI LAKON
YANG EKSPERIMENTALISTIK “SUMUR TANPA
DASAR” UNIKNYA
SAMA SEKALI TIDAK BERCIRI ABSURDITAS MURNI –
HAL YANG
MENGGEJALA DALAM KARYA-KARYA SASTRA MODERN
INDONESIA ERA
70’AN – TETAPI JUSTRU MEMPERLIHATKAN UPAYA
PERSENYAWAAN
KREATIF ANTARA TRADISI TEATER MODERN BARAT
PASCA REALISME
DENGAN TEATER TRADISIONAL KITA; TEATER
RAKYAT,
KHUSUSNYA LENONG BETAWI DAN TARLING CIREBON. HASIL
PERSENYAWAAN
INI, MELALUI PERALATAN SIMBOLISME,
DIEKSPRESIKAN
ARIFIN C. NOER KE DALAM LAKONNYA INI, SEHINGGA
KITA AKAN
BEROLEH PERISTIWA YANG BERSUASANA KONTEMPLATIF
TENTANG KONFLIK
KEJIWAAN TOKOH UTAMANYA, JUMENA
WARTAWANGSA –
KONFLIK MENGENAI PERSOALAN IMAN DAN
EKSISTENSI DIRI
HIDUP JUMENA
IBARAT SUMUR TANPA DASAR; GELAP DAN TAK
BERUJUNG,
MENGGAPAI-GAPAI
Jakarta, Agustus
1989
Lakon
Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer 4
DRAMATIC
PERSONAE
JUMENA
WARTAWANGSA Lelaki Tua
EUIS Istrinya
PEREMPUAN TUA
Pembantunya
MARJUKI
KARTADILAGA Adik angkatnya
SABARUDDIN
NATAPRAWIRA Guru Agama
WARYA
Pegawainya
EMOD Pegawainya
KAMIL Si Sinting
LELAKI Pelukis
Sinting
MARKABA Tokoh
Jahat
LODOD Tokoh
Idiot
PEMBURU Alias
SANGKAKALA
KABUT-KABUT,
ORANG-ORANG
Dan LAIN-LAIN
WAKTU Kapan
Saja
TEMPAT Di
rumah, dalam pikiran Jumena
Martawangsa
atau di mana saja
BAGIAN PERTAMA
1.
SANDIWARA INI KITA MULAI DENGAN SUARA DETAK-DETIK LONCENG
YANG MENGGEMA MEMENUHI RUANG. SUARA
DETAK-DETIK INI
BERJATUHAN SEDEMIKIAN RUPA SEHINGGA
MENIMBULKAN
BERMACAM-MACAM ASOSIASI. SESEKALI DI
SELA-SELA SUARA INI
MENYAYUP PANJANG LOLONG ANJING ATAU
SRIGALA YANG SEDANG
‘MERAIH’ BULAN.
2.
LONCENG ITU ANTIC, TUA, AGUNG DAN
KUKUH PENUH RAHASIA. DARI
RONGGA LONCENG
MUNCUL KABUT-KABUT ATAU PARA PEMAIN YANG
MELUKISKAN
KABUT-KABUT. MEREKA MELANGKAH MENGENDAPENDAP
UNTUK
SELANJUTNYA SECARA PENUH RAHASIA MENYEBAR KE
SEGENAP ARAH
DAN SEGERA GAIB SIRNA.
3.
PIGURA ITU TANPA GAMBAR TANPA POTO,
KOSONG, TERGANTUNG
SUNYI DAN PENUH
RAHASIA
4.
DI ATAS KURSI GOYANG JUMENA
MARTAWANGSA BERGOYANGGOYANG
SUNYI. TAMPAK
SESAK PERNAFASANNYA. SEKALI PUN
BEGITU, KEDUA
MATANYA MASIH MENYOROTKAN PANDANGAN YANG
TAJAM. AMAT
TAJAM. DAN DALAM KEADAAN SEPER JUMENA
KELIHATAN
SEPERTI SEDANG MENGHITUNG DETAK-DETIK LONCENG.
SEJAK TADI,
SEONGGOK KABUT BERDIRI DI SAMPINGNYA
MEMEAINKAN
SEHELAI TALI YANG SIAP UNTUK MENGGANTUNG
LEHER. AGAK
BEBERAPA SAAT JUMENA MENIMBANG-NIMBANG TALI
ITU. KEMUDIAN
KABUT ITU MENDEKATKAN TALI GANTUNGAN ITU
DAN JUMENA
MENCOBA MEMASANG PADA LEHERNYA. DIA TERTAWA.
JUMENA
Kalau saya
bunuh diri, sandiwara ini tidak akan pernah ada
Sambil tertawa
ia memberikan isyarat agar kabut pembawa tali pergi. Dan pada saat
itu detak-detik
lonceng semakin lantang. Dari rongga lonceng muncul Sang Kala alias
Pemburu yang
siap dengan senapannya. Ketika senapan itu meletus, terkumpullah
seluruh amarah
dan kekagetan Jumena
JUMENA
Bangsat!
TATKALA SANG
KALA GAIB BERDENTANGANLAH LONCENG ITU.
KEMUDIAN
BERDENTANG JUGALAH BERJUTA LONCENG-LONCENG
DAN WEKER.
SEDEMIKIAN RUPA SUARA ITU MENEROR SEHINGGA
Lakon
Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer 6
MENYEBABKAN
JUMENA BANGKIT. DAN PADA SAAT JUMENA BERDIRI,
HENING
MENGGANTIKAN SUASANA. LALU JUMENA DUDUK KEMBALI.
PEREMPUAN TUA
MUNCUL MENGGANTI TEMPOLONG LUDAH DI KAKI
KURSI GOYANG
DENGAN TEMPOLONG YANG LAIN.
P.
TUA (Sambil pergi)
Terlalu
bernafsu. Pucat sekali wajahnya
ENTAH DARI
SEBELAH MANA EUIS MUNCUL
JUMENA
Kalau saya bisa
percaya, saya tenang. Kalau saya bisa tidak percaya, saya tenang.
Kalau saya
percaya dan bisa tidak percaya, saya tenang. Tapi saya tidak percaya dan
tidak bisa
tidak percaya, jadi saya tidak tenang. Tapi juga kalau saya tenang, tak akan
pernah ada
sandiwara ini
EUIS:
Akang
JUMENA:
Euis
EUIS:
Apa yang akang lihat?
JUMENA:
Kau
EUIS:
Kenapa?
JUMENA:
Ingin tahu apa kau betul-betul cantik
EUIS MERANGKUL
DAN MENCIUMI JUMENA, TELINGA JUMENA DAN
LAIN-LAIN
SEHINGGA MEMBUAT JUMENA KEGELIAN. KEDUANYA
TERTAWA-TAWA. SEKONYONG-KONYONG
JUMENA MEMATUNG,
MURUNG
EUIS:
Kenapa, Akang?
(Jumena
Memainkan Bulu Matanya Sendiri)
Kenapa
tiba-tiba muram, Akang?
JUMENA
(Manja-tua): Umur Euis berapa?
EUIS:
Dua enam
JUMENA:
Itulah sebabnya!
EUIS:
Percayalah akang. Euis akan tetap mencintai akang sekalipun umur
akang delapan
puluh tiga
tahun
JUMENA:
Betul?
EUIS
sumpah
JUMENA
Kalau delapan
lima?
EUIS
Cinta
JUMENA
Seratus tahun?
EUIS
Euis akan tetap
menciumi leher akang
KEMBALI EUIS
MERANGKUL DAN MENCIUMI LEHER JUMENA DAN
LAIN-LAIN. KEDUA-DUANYA
TERTAWA
JUMENA
Kalau saja saya
tahu kau betul-betul mencintai saya
EUIS
Euis sangat
cinta pada akang
JUMENA
Menyenangkan
sekali kalau itu benar
EUIS
Betul Euis
mencintai akang
JUMENA
Mungkin, saying
akang tidak tahu persis
EUIS
Tidak perlu
Lakon
Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer 8
JUMENA
Perlu. Bahkan
akang juga ingin tahu apa betul akang bahagia
(Terus mereka
berciuman dan tertawa-tawa)
Sesekali enak
juga berhibur seperti ini
TERUS MEREKA
BERCIUMAN DAN TERTAWA
6
ENTAH DARI MANA
MARJUKI KARTADILAGA MUNCUL. IA TERSENYUM
SAMBIL MENYEDOT
PIPA ROKOKNYA
JUMENA
(Kesal-sedih)
Kenapa kau
rusak sendiri? Kenapa kau berubah? Lenyapkan itu
(Begitu
melihat Marjuki, perhatian Euis beralih dan langsung merangkulnya)
Bangsat. Kau
rusak sendiri. Semuanya kau rusak sendiri
(Dalam
sunyi Jumena menimbang-nimbang sendiri apa yang baru diucapkannya)
Siapa bilang
aneh? Semua ini mungkin saja terjadi. Tuhan, kenapa justru saya
merasakan
sesuatu semacam kenikmatan dengan segala pikiran-pikiran ini? Kau jebak
saya, Tuhan.
Kau jebak saya. Tega. Kau! (lalu mulai dengan pikirannya) saya kira
mula-mula istri
saya…. (Agak lama) Ya, mula-mula istri saya akan berlaku seperti
bidadari
(Euis
menutup wajahnya seperti seorang gadis kecil)
Mungkin saja….
EUIS
(Gemetar)
Tidak mungkin
Juki
JUKI
Mungkin saja
EUIS
(Gemetar)
Tidak mungkin.
Saya tidak bisa meninggalkan dia
JUKI
Segalanya
mungkin. Tidak ada tidak mungkin
EUIS
Hati saya mulai
bersuara lagi
JUKI
Lakon
Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer 9
Kalau begitu
kau sedang membunuh dirimu sendiri. Apa kamu merasa sedang
dihukum? Apa
ayahmu sedang melecutmu?
EUIS
Dada saya
bergetar sangat kencangnya
JUMENA
Kalimat-kalimat
ini berasal dari syahwat..
Jika blog ini menjadi salah satu referensi Anda, jangan lupa menyertakan blog ini dalam daftar rujukan Anda untuk menghargai karya orang lain dan pastinya menghindari plagiarisme. Terima kasih.
EKRANISASI NOVEL DAN FILM DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH
EKRANISASI NOVEL DAN FILM DI BAWAH LINDUNGAN
KA’BAH
Oleh : Wildan Taufiqur Rohman
Ekranisasi, istilah ini berasal dari bahasa Prancis, écran,
yang berarti “layar”. Eneste kemudian memberi definisi pada istilah ini
sebagai pelayar-putihan, pemindahan/ pengangkatan sebuah novel
(karya sastra) ke dalam film.
Di barat sendiri sebenarnya teori ini telah berkembang
lama.
Teori adaptasi, seperti diungkapkan Linda Hutcheon,
bisa disebut payung teori yang lebih luas. Sapardi Djoko
Damono membuat istilah ‘alih wahana’. Dilihat dari cakupan materinya, alih
wahana memang lebih luas dibandingkan ekranisasi. Alih wahana mencakup
pengalihan karya seni dari satu wahana ke wahana lain. Demikian pula tentunya
dengan yang diungkapkan Hutcheon.
Ekranisasi, bagaimanapun, bisa menjadi bagian kajian
menarik dalam sastra. Hal ini mengingat dewasa ini semakin banyaknya film yang
diangkat dari novel, seperti yang telah terjadi lebih dulu di barat.
Dalam kesempatan kali ini, saya ingin menjabarkan
perbedaan antara novel dengan film “Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Cerita sebenarnya
dalam novel karya HAMKA ( Haji Abdul Malik Karim Abdullah ), dengan film yang di-director-i Hanny R Saputra dan producer
Manoj Punjabi. Saya akan
menjabarkan tiap bagian, mulai dari awal
sampai akhir yang saya rasa terdapat perbedaan antara novel dengan filmnya.
Perbedaan ini juga dapat disebabkan gambaran yang ditangkap Hanny R Saputra
setelah membaca novelnya.
Cerita ini pada
intinya mengisahkan dua anak manusia yang saling jatuh cinta, namun tak dapat
bersatu karena perbedaan status sosial dan
tidak yakinnya perasaan cinta mereka sendiri. Perbedaan film dengan novel
aslinya terdapat pada penggambaran bagaimana usaha mereka tuk bersatu. HAMKA
dapat menggambarkan lewat cerita ini bahwa cinta itu indah, tapi dikemas
sedemikian rupa dengan nuansa religius. Serta menunjukkan bagaimana setiap
orang berjuang untuk menjalani hidup sesuai dengan apa yang kita yakini sebagai
tujuan hidupnya.
Tokoh
Hamid : Seorang pemuda Padang, umurnya
berkisar19-20 tahun yang taat agama dan patuh dengan orang tua. Bersahaja,
sopan tutur kata serta kelakuannya.
Zainab : Seorang perempuan Padang yang taat agama.
Dia berasal dari keluarga cukup berada, sangat menyayangi ibu dan keluarganya.
Saleh : Seorang pemuda ramah, baik hati yang
sudah menjadi sahabat Hamid sejak kecil.
Engku
Haji Ja’far : Seorang kepala keluarga yang baik hati, tak banyak bicara, dan
tentu saja bersahaja.
Mak
Aisah : Seorang perempuan tabah,sayang kepada anak
dan suami.
Perbedaan
antara novel dan film akan saya jebarkan mulai dari awal cerita, ingatlah kita
perbedaan itu terjadi karena beberapa faktor. Nanti, di akhir akan saya
jelaskan pendapat saya mengapa hal tersebut terjadi.Perbedaan dapat digolongkan
menjadi tiga, yang pertama adalah penciutan, penambahan, dan yang terakhir
adalah perubahan bervariasi.
Penciutan
Untuk
melayar putihkan novel kita tidak mungkin semua hal yang terjadi dalam novel
diceritakan dalam film, maka dari itu terjadi pemotongan kejadian-kejadian.
Sutradara pastinya sudah menangkap hal-hal yang penting dalam novel dan akan difilmkan.
Terdapat
beberapa keadaan yang tak digambarkan dalam film, seperti bagaimana menjelaskan
kematian Ayah Hamid.Dalam novel diceritakan seperti ini,
“ANAK
YANG KEMATIAN AYAH, masa saya masih berusia empat tahun, ayah saya telah
meninggal, ia telah meninggalkan saya sebelum saya kenal siapa dia dan betapa
rupanya, hanya di dinding masih saya dapati gambarnya, gambar semasa ia masih
muda, gagah..”(dalam novel)
Dalam
film tak digambarkan Hamid bercerita tentang kematian ayahnya, hanya dijelaskan
lewat ucapan Hamid dalam suatu kejadian di film.
Kemudian
dalam novel diceritakan bahwa Hamid sangat dekat dengan keluarga Engku Ja’far
dan mereka sempat pergi bersama-sama.
“Hari
Minggu kami diizinkan pergi ke tepi laut. Ke muara atau ke tepi Batang Arau,
melihat perahu pengail yang sedang di lambung-lambungkan gelombang di tengah
lautan yang luas, kain layarnya dipuput oleh angin yang menghantarkannya ke
tengah, akan mencari rezekinya. Negeri Pariaman hijau nampaknya dari jauh,
ombak memecah dan menderum tiada berhenti memukul pasir tepi itu. Di sana kami
berlari-larian mengejar ambai-ambai yang segak dan lekas lari...”(dalam novel)
Tetapi
dalam filmnya tak pernah diperlihatkan mereka pergi bersama ke pantai bersama
ternyata penciutan juga terjadi dalam menceritakan awal Hamid bertemu Mak Aisah
dan Zainab.
“Tiap-tiap
pagi saya lalu di hadapan rumah itu menjunjung nyiru berisi goring pisang, mata
saya sentiasa memandang ke jendela-jendelanya yang berlangsir kain sutera
kuning, hendak melihat keindahan perhiasan rumahnya. Fikiran saya menjalar,
memikirkan kesenangan hati orang yang tinggal dalam rumah itu, cukup apa yang
dimakannya dan diminumnya; airliur saya meleleh bila saya ingat, bahawa kami di
rumah kadang-kadang makan, kadang-kadang tidak. Setelah saya meninggalkan
halaman rumah itu, maka dengan suara yang merawankan hati saya panggilkan jualan
saya; "Beli goreng pisang! Masih panas!"
Lama
kelamaan tertariklah perempuan yang setengah tua itu hendak memanggil jualan
saya, demikian juga anaknya. Pernah kedengaran oleh saya ia berkata: "
Panggillah Nab kesian juga saya!"
Perempuan itu suka memakan sirih, mukanya
jernih, peramah dan penyayang. Pak Leman yang telah menjadi jongos untuk
memelihara perkarangan itu, belum pernah dapat suara keras daripadanya. Anak
perempuannya itu masih kecil, sama dengan saya. Apa perintah ibunya diikuti
dengan patuh, rupanya ia amat disayangi kerana anaknya hanya seorang itu.
Sudah
dua tiga kali saya datang ke rumah indah dan bagus itu; setiap kali saya datang
bertambah sukanya melihat kelakuan saya dan belas kasihan akan nasib saya. Pada
suatu hari perempuan itu bertanya kepada saya; " Di mana engkau tinggal
anak, dan siapa ayah bondamu?"(dalam novel)
Dalam
film tak pernah diceritakan bagaimana mereka bertemu, hanya dijelaskan melalui
ucapan tokoh.
Penambahan
Seperti
yang saya katakan tadi di awal, bahwa sutradara sebelumnya telah memilih
hal-hal yang penting dalam novel, sehingga ada kemungkinan penambahan pada
alur, tokoh, latar atupun suasana. Saya menemukan penambahan itu dalam film
ini, ini yang dapat saya temukan,
Kemudian
kisah cinta mereka mulai mendapat ujian. Jika kita dapat temukan, dalam novel
ujian itu dimulai ketka Engku Ja’far meninggal dunia, mulai disinilah cinta
mereka di uji.
“SEPERUNTUNGAN
Setelah beberapa lama kemudian, dengan tidak disangka-sangka satu musibah besar
telah menimpa kami berturut-turut. Pertama ialah kematian sekonyong-konyong
dari Engku Haji Jaafar yang dermawan. Ia seorang yang sangat dicintai oleh
penduduk negeri, kerana ketinggian budinya dan kepandaiannya dalam pergaulan;
tidak ada satu pun perbuatan umum di sana yang tak dicampuri oleh Engku Haji
Jaafar. Kematiannya membawa perubahan yang bukan sedikit kepada perhubungan
kami dan rumahtangga Zainab. Dia yang telah membuka pintu yang luas kepada saya
memasuki rumahnya di zaman hidupnya, sekarang pintu itu mahu tak mahu telah
tertutup. Sebagai seorang lain, Pertemuan kami tidak berleluasa seperti dulu
lagi. Ah…. zaman semasa anak-anak, dia telah pergi dari kalangan kami dan tak
akan kembali lagi…”(dalam novel)
nah,
sekarang akan saya tunjukkan perbedaan hal yang menguji cinta mereka. Dalam
film ujian itu bermula diusirnya Hamid yang di asingkan dari kampong karena
telah memberikan nafas buatan kepada Zainab yang tak sadarkan diri setelah
tercebur ke dalam sungai. Saat itu Zainab ingin melihat lomba, bisa dikatakan
seperti itu, yang pada saat itu Hamid
menjadi salah satu peserta. Karena tergesa-gesa Zainab yang belum bisa
menguasai sepedanya itu langsung saja tercebur kedalam kolam.
Beberapa
gambar yang dapat saya jadikan bukti bahwa kejadian itu ada di film namun dalam
novel tidak ada.
Karena
novel mengalami oenciutan dan penambahan, maka memungkinkannya terjadi
perubahan bervariasi agar secara garis besar cerita tidak merubah inti dari cerita dalam novel. Beberapa hal
yang saya golongkan dalam perubahan bervariasi sebagai berikut,
Awal
cerita,
“
MEKKAH PADA TAHUN 1927, harga getah di Jambi, di seluruh tanahair sedang naik,
negeri Mekah baharu sahaja pindah dari tangan Shariff Hussin ke tangan Ibn
Sa'ud, Raja Hijaz dan Najad dan daerah takluknya yang kemudian ditukarkan
namanya menjadi kerajaan "Arabiah Sa'udiah". Setahun sebelum itu
telah naik haji dua orang yang kenamaan dari negeri kita. Keamanan negeri
Hijaz, telah tersiar. Kerana itu banyak orang yang berniat menyempurnakan Islam
yang kelima itu. Tiap-tiap kapal haji yang berangkat menuju Jeddah penuh...”(dalam
novel)
Dalam novel menceritakan apa yang terjadi di
Mekkah pada saat itu, namun dalam film awal cerita digambarkam dengan kereta
api yang mengangkut penumpang dan salah satu penumpang itu adalah Hamid yang
telah lulus sekolah. Saat itu Hamid sedang memandangi foto seorang gadis, yaitu
Zainab yang memakai kerudung putih.
Terdapat
perbedaan cara menggambarkan perasaan Hamid terhadap Zainab antara dalam novel
dengan film,
“Demikian
lah pelajaran itu telah saya tuntut dengan bersungguh hati, tetapi…. Semenjak
mula saya pindah ke Padang Panjang, sentiasa saya merasa keseorangan. Kian lama
saya tinggal dalam negeri dingin itu, kian terasa oleh saya bahawa saya sebagai
seorang yang terpencil. Keindahan alam yang ada di sekeliling kota dingin itu
menghidupkan kenang-kenangan saya kepada hal-hal yang telah lalu. Gunung Merapi
dengan kemuncak tandikat waktu matahari akan terbenam dan mempertaruhkan
jabatan memberi cahaya kepada bulan, singlang yang sentiasa diliputi dengan
kebun-kebun tebunya yang beriak-riak ditiup angin, semuanya membangkitkan
perasaan-perasaan yang ganjil, yang sangat mengganggu fikiran saya.”(dalam
novel)
Mulai
disinlah awal dari perasaan yang ganjil dari Hamid kepada Zainab. Dan dalam
film yang tidak ada dalam novel sangat banyak sekali. Sepertinya sutradara
menggambarkan perasaan antara Hamid dan Zainab dengan beberapa cara. Saya akan
menjabarkan beberapa perbedaan film dengan novel yang telah saya temukan.
Jika
dalam novel diceritakan seperti ini,
“Apabila
sekolah saya tutup, segala segala cita-cita yang telah saya reka selama
belajar, dan telah saya susun di jalan antara Padang Panjang dengan Padang
semuanya dapat saya jalankan; ibu saya menitik airmata kerana kegirangannya,
Engku Haji Jaafar tersenyum mendengar saya mengucapkan terima kasih. Mak Asiah
memuji-muji saya sebagai seorang anak yang berbudi, Cuma ketika berhadapan
dengan Zainab dalam rumahnya, mulut saya tertutup, saya menjadi seorang yang
bodoh atau pengecut. " Bila abang pulang?" Katanya. " Pukul
sepuluh pagi tadi." Jawab saya. " Apa khabar?Baik?" "
Alhamdulillah………." Setelah itu saya menjadi bingung, tidak tentu lagi apa
yang akan saya terangkan kepadanya. Segala rancangan saya terhadap dirinya yang
saya reka-rekakan tadi, semuanya hilang. Ia melihat tenang-tenang kepada saya,
seakan ada pembicaraan saya yang ditunggunya, tetapi kian lama saya kian gugup,
sehingga sudah lalu hampir lima belas minit, tidak ada diantara kami yang bercakap.
"Mudah-mudahan kelak selamatlah, dan kerapkali datang kemari kalau masih
di rumah"- katanya..”(dalam novel)
kita
dapat lihat perbedaan gambaran dari film yang kita lihat, sangat berbeda
sekali.
Dan
bukti bahwa Hamid masih ragu dengan apa yang dia rasakan, dapat dilihat dari
kutipan dalam novel berikut ini,
“Mustahil
ia akan dapat menerima cinta saya, kerana dia langit dan saya bumi, bangsanya
tinggi dan saya daripada kasih sayang ayahnya. Bila saya tilik diri saya, tidak
ada padanya tempat buat lekat hati Zainab. Jika kelak datang waktunya orang
tuanya bermenantu, mustahil pula saya akan temasuk golongan orang yang terpilih
untuk menjadi menantu Engku Haji Jaafar, kerana tidak ada yang akan dapat
diharapkan…”(dalam novel)
Beberapa
hal yang mengalami perubahan variasi terdapat pada alasan Hamid pergi dari
Padang, itu bermula dari kejadian nafas buatan yang diberikan Hamid pada
Zainab.
Sesampai
di tepian sungai, Zainab diangkat orang-orang dan mereka berusaha untuk
membangunkan zainab, naming Zainab tak kunjung sadar, Hamid merasa cemas
langsung meraih tubuh Zainab dan memberikan nafas buatan. Setelah beberapa saat
Zainab sadar, padahal dalam masa itu, memegang tubuh bahkan ‘mencium”(tak
secara langsung karena Hamid hanya berniat untuk memberikan nafas buatan)
adalah yang sangat dilarang.
Saat
itu juga semua orang langsung menganggap bahwa Hamid buka pemuda yang baik-baik
dan para “orang tua” berembug untuk menanggapi apa yang dilakukan Hamid kepada
Zainab. Dan pada esok petangnnya, para “orang tua’ memanggil Hamid untuk
ditanyai pertanggung jawaban atas perbgai orang lain lagi, almarhum telah memasukkan engkau ke
dalam golongan kami, walaupun beragih tetapi tak bercerai. Maka di atas namanya
hari ini, di atas nama Haji Jaafar mak meminta tolong melembutkan hati adikmu."
"
Oh itu namanya perintah, saya kabulkan permintaan mak."(dalam novel)
Kemudian
Hamid berusaha untuk membujuk Zainab, namun Zainab hanya diam saja. Setelah kejadian itu, Hamid berpikir
lebih baik pergi meninggalkan Zainab.
“Memang,
mula-mula hati itu mesti bergoncang; bukahkan loceng-loceng dirumah juga
berbunyi keras dan berdengung jika kena pukul? Tetapi akhirnya, dari sedikit ke
sedikit, dengung itu akan berhenti juga. Cuma saja saya mesti berikhtiar,
supaya luka-luka yang hebat itu jangan mendalam kembali, saya mesti berusaha,
supaya ia beransur-ansur sembuh. Untuk itu saya mesti berusaha, saya mesti
meninggalkan Kota Padang, terpaksa tak melihat wajah Zainab lagi, saya berjalan
jauh.
Setelah
saya siapkan segala yang perlu dan rumahtangga saya pertaruhkan kepada salah
seorang sahabat handai yang setia, dengan tak seorang pun yang mengetahui, saya
berangkat meninggalkan Kota Padang, kota yang permai dan yang sangat saya
cintai itu, dengan menekankan dan membunuh segala perasaan yang sentiasa
mengharu hati, saya tumpangi kereta yang berangkat ke Siantar. Di kiri kanan
saya banyak penumpang lain yang akan menuju ke kota Medan, setelah saya sampai
ke Medan, saya buat surat kepada Zainab, sesudah hati saya, saya beranikan;
itulah surat saya yang pertama kali kepadanya. Jika kelak ternyata dia tak
cinta kepada saya, syukur, sebab saya tak melihat mukanya yang kesal membaca
surat. Tetapi kalau ia nyata ada mempunyai perasaan sebagi yang saya rasai dan
surat itu diterimanya dengan sepertinya, tentu sekurang-kurangnya saya akan
menerima belas kasihannya, sebagai seorang melarat yang diarak oleh untung
nasib saya…”(dalam novel)
Hamid
pin pergi meninggalkan Kota Padang dan Zainab. Yamg berbeda adalah hal yang
terjadi setelah Hamid pergi. Saya akan menunjukkan perbedaan itu. Dalam film,
sebelum hamid pergi meninggalkan Padang, dia berpamitan kepada Mak Aisah. Namun
tak sempat berpamitan dengan Zainab. Tetapi sesaat Hamid pergi, Zainab keluar
kamar, mengetahui jika Hamid berniat meninggalkan Padang, dia pun lekas-lekas
ingin bertemu Hamid.
Jika blog ini menjadi salah satu referensi Anda, jangan lupa menyertakan blog ini dalam daftar rujukan Anda untuk menghargai karya orang lain dan pastinya menghindari plagiarisme. Terima kasih.
REFLEKSI CERPEN (Analisis): "Dodolitdodolitdodolitbret" karya Seno Gumirah Aji Darma
Nama: Wildan T.R
Judul
: Dodolitdodolitdodolibret
Karya
: Seno Gumirah Ajidarma
Mengisahkan seseorang yang merasa dirinya seorang guru
yang mampu berdo’a dengan benar, berkelana untuk mengajarkan cara berdo’a
dengan benar menurutnya. Memberi tahu hidup itu seperti apa, pokoknya ia merasa
yang paling mengerti tentang hidup. Ia berpaham bahwa orang yamng mampu berdo’a
dengan baik dapat berjlan di atas air.
Hingga suatu saat ia berkelana ke daerah pulau yang
terletak di tengah danau yang luas sekali. Ia merasa bahwa sekua penduduk di
sana pasti tidak dapat berdo’a dengan benar karena daerah yang terpencil, jauh
dari desa lain. Sesampainya di pulau itu ia mengajarkan beberapa orang untuk
berdo’a dengan benar, ia hampir putus asa karena ia kesulitan untuk memberikan
ilmunya kepada mereka. Mereka sulit mengerti, bahkan cara berdo’a mereka
seperti meminta kutukan ke diri mereka sendiri. Namun Kiplik tak patah semangat
untuk mengajarkan cara berdo’a dengan benar.
Setelah berusaha dengan keras, Guru Kiplik berhasil
membuat mereka dapat berdo’a dengan benar. Kemudia ia memutuskan untuk kembali.
Ia mengambil galah dan menaiki sampan. Di tengah danau ia mendengar beberapa orang memanggil namanya, ia menoleh
dan terkejut. Orang-orang yang diajanya tadi berlari diatas air, mereka berteriak
karena lupa cara berdo’a dengan benar menurut Guru Kiplik dan mengingunkan Guru
Kiplik kembali.
Cerpen ini sungguh menyindir apa yang sering terjadi
di sekitar kita. Sering kita menemui hal seperti itu. Seseorang yang merasa
dirinya paling mampu di antara yang lain padahal terdapat orang yang lebih
mampu daripada dia sendiri. Cerpen ini tidak terkesan menggurui, pengarang
menyindir secara halus bahkan pembaca tak merasa bahwa cerpen ini tidak
menyindir, dikemas dengan bahasa yang sederhana sehingga mudah dimengerti jalan
ceritanya.J.A.J
APRESIASI PUISI (Analisis): "O" karya Sutadji Calzoum Bachri dengan Pendekatan Objektif
|
O
dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal
maugapai
siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau
siakalaian siasiasia
waswasku waswaskau waswaskalian
waswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian
duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O
. . . .
|
1.
Struktur Global
Puisi di atas adalah puisi kontemporer, istilah kontemporer ini
menunjuk pada waktu bukan pada puisi tersebut, sebab pada masa kontemporer ini
banyak model puisi yang konvensional. Kecenderungan puisi kontemporer
menampilkan struktur tematik dan struktur sintaktik yang berbeda dengan
puisi-puisi sebelumnya.
Puisi di atas terdiri dari
delapan larik dan itu semua mengungkapkan tema Ketuhanan. Ketuhanan dapat kita
tangkap lewat penggunaan bahasanya. Kata-kata yang sering diulang atau repetisi
membantu menciptakan suasanakegelisahan dan konflik batin dalam pencarian Tuhan
itu. Hal ini dapat diketahui jika teliti dari larik demi larik berikut :
a. Larik
pertama : dukaku dukakau dukarisau
dukakalian dukangiau
Pada larik pertama, terdapat
kata duka sebanyak lima kata, itu mengartikan bahwa pengarang benar-benar
merasa duka. Intensitas kata yang muncul menandakan pengarang ingin memberikan
tekanan pada kata itu.
b. Larik kedua : resahku resahkau resahrisau resahbalau
resahkalian
Larik
kedua, terdapat kata “resah” sebanyak lima kata, tak jauh berbeda pada larik
pertama, pengarang menekankan kata “resah”, itu berarti pengarang merasakan
resah pada “aku”, “kau”, “kalian” yang terlalu. Permainan kata juga terdapat
pada larik kedua, yaitu “resahrisau” dan “resahbalau”.
c. Larik ketiga : raguku ragukau
raguguru ragutahu ragukalian
Larik ketiga, terdapat kata
“ragu” sebanyak lima kata, tak jauh berbeda dengan larik pertama dan kedua.
Pengulangan kata menandakan penekanan, “ragu” dirasakan oleh “aku” “kau”
“guru”, dan “kalian”. “Ragutahu” berarti “aku” merasakan keraguan untuk tahu
sesuatu hal.
d. Larik ke-empat : mauku maukau mautahu mausampai maukalian
maukenal maugapai
Larik ke-empat, terdapat
kata “mau” sebanyak tujuh kata, lebih banyak daripada larik pertama hingga
ketiga. Kemauan lebih besar daripada duka, resah, ragu. Tetap saja si “aku”, “kau”, dan “kalian” yang
merasakan kemauan itu. Kemauan itu berbeda-beda, seperti ingin tahu pada
“mautahu”, ingin sampai pada “mausampai”, ingin kenal pada “maukenal”, dan
ingin menggapai pada “maugapai”.
e. Larik kelima
: siasiaku siasiakau siasiasia siabalau
siarisau siakalaian siasiasia
Larik
kelima, terdapat kata “siasia” sebanyak tujuh kali, jumlah ini sama dengan kata
“mau” pada larik sebelumnya. Dapat diartikan jika kemauan si aku, kamu, dan
kalian menjadi sia-sia. “siasiasia”, “siabalau”, “siarisau” merupakan permainan
kata.
f. Larik ke-enam : waswasku
waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswas
Larik
ke-enam, terdapat kata “waswas” sebanyak tujuh kali, jumlah ini juga sama
dengan kata”mau”, “siasia” sehingga dapat diartikan bahwa setelah kemauan si
“aku”, “kau”, dan “kalian” berubah menjadi sia-sia, ke-sia-siaan mereka berubah
menjadi was-was.
g. Larik ketujuh : duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu
duhaikalian duhaisangsai
Larik
ketujuh, terdapat kata “duhai”, si “aku” menyapa “kau”, “kalian”, mengartikan
jika si”aku” ingin semua juga tahu, termasuk “rindu” dan “ngilu”,
sedangkan “duhaisangsai” merupakan
permainan kata.
h. Larik kedelapan : oku okau
okosong orindu okalian obolong orisau oKau O . . . .
Larik kedelapan, sedikit berbeda dengan larik-larik
sebelumnya, “o” bermakna lebih dari sekadar huruf “o”, dalam “oku”, “okau”, dan
“okalian”. “o” seperti sesuatu hal, kemudian kata ”bolong” yang berarti
berlubang dan kata “okosong” dapat berarti suatu kekosongan. Kata yang menonjol
adalah penulisan “oKau”, dapat dirartikan bahwa “Kau” adalah Tuhan.
Dengan
demikian, struktur makna global dari puisi O
bertemakan Ketuhanan. Pengarang begitu menekanan pada kata resah, ragu, mau,
sia-sia, waswas, duhai, dan o adalah sebuah tekanan yang memberi makna lebih
pada duka, keresahan yang akhirnya menimbulkan ragu dan juga keingintahuan
walaupun itu hanya sia-sia dan membuat waswas. Pengulangan kata itu merupakan
penekanan juga pada artinya. Kegelisahan yang menjadi konflik batin si “aku”
bermula dari perasaan duka, keresahan, keraguan hingga muncul kemauan untuk
mengenali/ menggapai Tuhan, namun kemauan itu hanya menjadi sia-sia.
Kesia-siaan itu kemudian membuat perasaan si “aku” menjadi was-was. Pencarian
itu dirasa tak ada hasil, kosong. Duka, resah, dan keraguan hanya bisa
dikembalikan kepada Tuhan.
2.
Penyair
dan Kenyataan Sejarah
Faktor penyair dan kenyataan sejarah akan membantu melengkapi pembahasan
puisi ini dengan mengenali latar belakang pengarang. Sutardji Calzoum Bachri lahir
24 Juni 1941 di Rengat, Riau. Ia muncul di periode 1970-an yang banyak
memunculkan puisi kontemporer. Puisi kontemporer menampilkan struktur
tematik dan struktur sintaktik yang berbeda dengan puisi-puisi sebelumnya.
Kecenderungan yang dibawa oleh
Sutardji Calzoum Bachri yang pertama ialah menghidupkan kembali mantra-mantra Melayu
dalam puisi Indonesia modern. Mantra berarti penggunaan kata-kata atau bunyi-bunyi
yang berulang untuk menciptakan daya magis. Kecenderungan lain yang ia bawa
ialah puisi konkret yang mementingkan bentuk grafis atau tata wajah, disusun
mirip dengan gambar. Di samping makna yang ingin disampaikanoleh penyair, ia
juga ingin memperlihatkan kemanisan susunan kata-kata dan baris serta bait yang
menyerupai gambar.
Puisi-puisi Sutardji sangat
memukau diantaranya disebabkan karena sang penyair mampu memutar balikkan makna
kata, loguka kata, dan juga pengulangan kata-kata. Jika dibaca sepintas tak
terasa memukau, namun jika dibaca lebih jauh, pemutar balikkan dan pembuatan
variasi kata-kata itu begitu cerdas dan bermakna. Pengulangan kata-kata yang
berlebih juga mengandung makna tertentu yakni memperkuat apa yang hendak
disampaikan.
Dalam mengapresiasi sebuah
puisi,perlu mengetahui struktur fisik dan batin yang dibangun oleh spuisi
tersebut.
a. Struktur Fisik Puisi
Penyair memilih kata-kata yang
mnimbulkan suasana tertentu. Kata-kata itu terkadang memiliki makna kias, makna
sesungguhnya, dan makna lambang.
Diksi yang digunakan kebanyakan makna
sesungguhnya, seperti yang dikatakan Sutardji
Calzoum Bachri dalam “KredoPuisi” bahwa kata itu adalah pengertian itu sendiri
tidak harus bermakna lain. Sehingga dalam puisinya ini banyak terdapat makna sesungguhnya/denotasi.
Namun, yang perlu disoroti adalah kata “oKau”, kata ini dapat berarti penyair
menyinggung/memanggil Tuhan, Oh Kau/oh Tuhan. Sedangkan “obolong” dan “okosong”
merupakan lambang kekosongan.
Pengimajian dalam puisi “O” ini terdapat beberapa pengimajian
antara lain penglihatan, pedengaran, dan cita rasa. Indera perasa dilibatkan
dalam kata ”duka”, “resah” “ragu” “ngilu”, “sia-sia”, dan “waswas”, sehingga pembaca
seakan ikut merasa duka, resah, ragu, ngilu, sia-sia, dan was-was dengan
membaca puisi tersebut.
Pengimajian melalui indera pendengaran terlihat dari kata ”dukangiau”
karena kata ngiau adalah suara hewan yakni kucing sebagai suatu bahan
perbandingan. Selain itu juga ada pengimajian melalui indera penglihatan, yaitu
pada kata ”okosong” dan ”obolong” karena kosong dan bolong itu hanya bisa
diketahui dangan melihat suasana. Semuanya bertujuan membawa pembaca dengan
segenap inderanya bisa merasakan duka, resah, ragu, ngilu, sia-sia, dan was-was
yang ada dalam puisi tersebut.
Rima pada Puisi “O” karya
Sutardji Calzoum Bachri ini banyak menggunakan pengulangan sebanyak 5 kali,
bahkan tujuh kali seperti pada kata “waswas”. Pengulangan yang dilebih-lebihkan
jika dibaca sepintas lalu terkesan bahwa penyair ingin mempermainkan kata-kata
atau suku kata yang diulang. Namun jika pikir lebih lanjut, perulangan yang
berlanjut itu tentu mengandung makna tertentu yakni memperkuat apa yang hendak
diungkapkan.
Tipografi atau tata wajah memberikan nuansa makna dan
suasana tertentu dan dapat menampilkan aspek artistik visual. Secara tipografi, dengan memerhatikan tampilan penataan antar
larik pada
puisi O karya
Sutardji Calzoum Bachri, tampak pada sisi kiri memiliki struktur bentuk yang rata. Hal ini mengesankan
suatu tampilan karakter stabil, lurus, teguh, mantab, dan meyakinkan.
b. Struktur Batin Puisi
Perasaan gelisah, ragu dan pasrah timbul sewaktu membaca puisi
ini, hal tersebut disebabkan pengulangan kata yang berlebih. Pengulangan sebanyak 5 kali, bahkan tujuh
kali seperti pada kata “waswas”, ini yakni pengulangan kata guna menekankan
arti pada kata itu. Begitu juga penekanan pada kata resah, ragu, mau, sia-sia,
waswas, duhai, dan o adalah sebuah tekanan yang memberi makna lebih pada duka,
keresahan yang akhirnya menimbulkan ragu dan juga keingintahuan walaupun itu
hanya sia-sia dan membuat waswas. Pengulangan kata itu merupakan penekanan juga
pada artinya, bahkan kata.
4.
Sintesis
dan Interpretasi
Secara umum, puisi menceritakan kegelisahan yang dialami tokoh si “aku”,
kegelisahan dalam mencari Tuhan. Kegelisahan ini yang menjadi konflik batin si
“aku”. Bperasaan duka, keresahan, keraguan hingga muncul kemauan untuk
mengenali/ menggapai Tuhan, namun kemauan itu hanya menjadi sia-sia.
Kesia-siaan itu kemudian membuat perasaan si “aku” menjadi was-was. Pencarian
itu dirasa tak ada hasil, kosong. Duka, resah, dan keraguan hanya bisa
dikembalikan kepada Tuhan.
Sikap penyair terhadap masalah adalah mengembalikan
kepada Tuhan,oleh karena itu pengarang tak memberi penyelesaian di akhir puisi.
Sikap penyair terhadap pembaca adalah dia menginginkan pembaca juga ikut merasa
kan perasaan penyair. Terbukti pada “resahkau”, “resahkalian” dan lainnya.
Tema puisi O
karya Sutardji Calzoum Bachri bertemakan Ketuhanan. Hal ini tergambar dari
gambaran umum tentang usaha pencarian Tuhan, dari gambaran tersebut diceritakan
perasaan tak menentu/ konflik batin yang dirasakan si “aku” dalam pencarian
Tuhan.
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Surakarta: Erlangga.
Adiel.
2009. ANALISIS SAJAK O KARYA SUTARDJI
CALZOUM BACHRI. (Online), (http://adiel87.blogspot.com/2009/01/analisis-sajak-o-karya-sutardji-calzoum.html), diakses 2 September 2012.
Subscribe to:
Posts (Atom)
CARA GRADING ATAU KATROL NILAI DENGAN SPREADSHEET ATAU EXEL
Di atas adalah preview dokumen spreadsheet untuk grading atau katrol nilai dengan objektif. singkat saja, pasti yang cari sedang bingung k...
-
Oleh: Wildan T. R Cerpen “Sepotong Kayu untuk Tuhan” Kuntowijoyo meneritakan kisah seorang kakek yang hidup bersama istrinya yang ...
-
Sempurna yang kau puja dan ayat-ayat yang kau baca Tak kurasa berbeda Kita bebas untuk percaya ~ Seperti kami pun mengampuni...
-
Karya Sutardji Calzoum Bachri O dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau r...